Tibalah kebaktian Malam Natal 24 Desember 1966 di Gereja Katolik Stasi Panatapan, Toba. Saat giliran Poltak marsipajojoron, dia melangkah dengan mantap ke depan altar.
Tampilannya sungguh meyakinkan dengan stelan baju baru, sepatu baru, dan sisiran rambut berminyak kelapa ke arah belakang. Seperti anak mafioso Sisilia saja gayanya.
Ompung baoa (kakek), ompung boru (nenek), among (bapak), inong (ibu), dan adik-adiknya tahan nafas memandang ke arah Poltak. Mata mereka melotot semua. Berharap Poltak lancar melapalkan Yesaya 11: 1-3. Cuma tiga ayat pendek.
Secara demonstratif, ompung baoa dan amongnya mengepalkan tinju ke arah Poltak. Maksudnya memberi semangat. "Ayo, Poltak. Libas," kira-kira begitu maksudnya.
Poltak melihat dengan cemas ke arah ompung baoa dan amongnya. Sebelum kemudian melapal dengan lantang: "Dung i ruar ma sada tunas sian ..." Bah, berhenti mendadak.
Poltak melihat lagi ke arah ompung baoa dan amongnya. Kedua lelaki itu semakin kuat mengepalkan tinju mereka. Sambil berteriak berbisik: "Libas!"
Poltak melapal lantang lagi: "Dung i ruar ma sada tunas sian ..." Bah, mendadak putus lagi.
Umat mulai saling berbisik. Prihatin. Kasihan melihat Poltak seperti anak pendosa distrap Voorhanger (guru jemaat) di depan altar.
"Libas!" Ompung baoa dan among Poltak makin gigih berteriak-berbisik sambil mengepal-ngepalkan tinju.
Mendadak Poltak melapal dengan lantang lagi: "Dung i ruar ma sada tunas sian ompung ni si among ..."
Gerrr....gereja pecah oleh gelak-tawa umat. Kecuali ompung baoa dan among Poltak yang tertunduk lemas.