Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Anies Baswedan dan Apresiasi Proyek Tata Kota yang Masih Dipandang Sebelah Mata

4 November 2019   06:27 Diperbarui: 4 November 2019   10:33 1281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Kamis (24/10/2019).(KOMPAS.COM/NURSITA SARI)

Riwayat (masih) pendek pemerintahan Anies Baswedan di Jakarta bukan melulu soal kekonyolan. Seperti kasus anggaran raksasa konyol untuk belanja lem aibon yang sedang viral. Atau kasus lama seperti pemasangan pohon plastik di trotoar, pewaringan Kali Item yang butek bau, penutupan Jalan Kalibaru Tanahabang untuk pedagang kaki lima (PKL), dan pemasangan instalasi bambu getah-getih di Bundaran HI.

Ada juga kasus-kasus pembangunan positif yang dijalankan pemerintahan Anies. Seperti perluasan pelebaran trotoar, perluasan jaringan angkutan perkotaan modern, pengadaan "Pelican Cross", dan pembangunan taman kota. 

Bahwa kegiatan-kegiatan positif itu adalah pelanjutan program-program rintisan pemerintah sebelumnya, tak masalah sepanjang baik untuk kemaslahatan kota. Lagi pula pemerintahan sebuah kota mestinya memang bersifat kontinu, bukan diskret.

Begitulah. Saya ingin menyampaikan apresiasi pada program tata kota yang kini sedang dijalankan Anies di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Kawasan ini sedang didandani untuk menjadi kawasan wisata kota.  

Tepatnya wisata kuliner dan hiburan malam, mengingat menjamurnya restoran dan caf di kawasan ini. Selain itu, secara sporadis, mungkin juga wisata budaya, berupa festival budaya Betawi semisal "festival palang pintu". 

Saya memberikan apresiasi karena program tata kota di Kemang ini persis menjawab tantangan saya kepada Anies. Sekadar pengingat, lewat sebuah artikel saya pernah menantang Anies untuk membereskan kabel-kabel telekomunikasi yang ruwet jorok bersiliweran di udara Jakarta (baca: Mapukah Anies Baswedan Mewujudkan "Jakarta Tanpa Kabel"?, kompasiana.com, 18/9/2018).

Selain itu saya juga pernah menantang Anies untuk menyelamatkan pohon-pohon pelindung trotoar yang terancam hidupnya di Jakarta. Karena tumbuh menjorok ke badan jalan, akibat pelebaran jalan di masa lalu (baca: Pohon-pohon yang Terancam Hidupnya di Jakarta, kompasiana.com, 3/4/2018). 

Terakhir adalah tantangan saya untuk membangun trotoar di ruas-ruas jalan tanpa trotoar di Jakarta. Sebagai contoh saya telah mengajukan kasus seruas jalan tanpa trotoar di sekitar Kemang (baca: "Seruas Jalan Tanpa Trotoar di Jakarta", kompasiana.com, 26/2/2019).

Pembersihan kabel-kabel ruwet di udara Kemang kini sedang berlangsung. Program itu ditandai dengan seremoni gunting kabel oleh Wali Kota Jaksel pada 1 Oktober 2019 lalu. Sekarang para pemilik kabel sedang sibuk merapikan kabelnya di bawah tanah. 

Kegiatan itu menghasilkan galian yang berdampak penyempitan jalan dan, karena itu, kemacetan. Tak jadi soal. "Growing pain" kata Anies. "Jer basuki mawa beya," kata Pak Harto dulu. Yang penting udara Kemang bebas polusi kabel. Seperti kini di Cikini, yang kabel udaranya sudah dibabat juga.

Pembabatan kabel simultan dengan pelebaran trotoar.  Program "pemuliaan pejalan kaki" ini memakan sebagian badan jalan. Akibatnya jalan raya menyempit, berujung kemacetan pada jam-jam sibuk.  

Ada politisi, antara lain Adian Napitupulu, yang mengeritik penyempitan badan jalan ini. Katanya tidak konsisten dengan upaya menurunkan polusi udara Jakarta  yang sangat parah. Sebab kemacetan akibat jalan sempit dinilai akan meningkatkan kandungan polutan asap kenderaan bermotor di udara.

Ada benarnya, tapi juga ada keliru pikirnya. Sebab penyempitan badan jalan itu telah diantisipasi dengan peningkatan layanan angkutan kota Transjakarta, MRT, dan Jaklingko. Dari Kemang misalnya sudah melintas bus Transjakarta yang nyaman dengan frekuensi tinggi. 

Sayangnya penumpang bus itu belum terlalu ramai. Artinya kesadaran warga untuk membersihkan udara Jakarta, dengan cara mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, masih rendah. Tidak adil untuk menyalahkan pemerintahan Pak Anies dalam soal ini. Warga juga harus mengedukasi diri untuk berperanserta menjaga kebersihan udara Jakarta.

Terkait pelebaran trotoar di Kemang itu ada yang "aneh tapi nyata". Sebelum trotoar diperlebar, sejumlah pohon peneduh jalan, angsana dan glodogan, tegak persis di gigir trotoar. Setelah pelebaran posisinya menjadi di tengah trotoar.  

Pak Anies, saat peninjauan proyek trotoar di Kemang, bilang pada Wali Kota Jaksel, bahwa pohon-pohon itu aneh karena tumbuh di tengah trotoar. Kata Anies akarnya bisa merusak struktur jalan dan trotoar, juga menghalangi pejalan kaki terlebih pengguna kursi roda. Karena itu timbul gagasan untuk menggusur pohon-pohon itu dari sana ke taman atau lokasi lain.

Orang lalu bergunjing. Pak Anies itu tak berani menggusur warga yang salah mukim di bantaran kali. Karena mereka pasti melawan. Tapi dia tega menggusur pohon dari trotoar. Karena mereka pasti diam pasrah.

Pak Anies, bukan pohon-pohon angsana dan glodogan itu yang aneh, tapi cara pikir Pak Gubernur dan Wali Kota Jaksel. Tak seharusnya pohon digusur untuk mencegah kerusakan trotoar dan jalan. Apalagi karena alasan mengganggu pejalan kaki. 

Teknologi struktur trotoar dan jalanlah yang harus direkayasa, agar adaptif terhadap pertumbuhan pohon. Pak Anies kan punya orang-orang hebat dan pintar di TGUPP. Tanyakanlah cara pelebaran trotoar tanpa menggusur pohon pada mereka. Aneh kalau mereka tak punya solusi.

Lagi pula kalau logika "pohon aneh karena tumbuh di tengah trotoar" itu dipakai, maka betapa banyak pohon yang harus digusur di Jakarta. Bukan hanya di Kemang tapi juga di banyak ruas jalan di Jakarta. Mau digusur ke mana? Lagi pula biaya gusur pohon itu mahal. Walau mungkin tak semahal anggaran lem aibon Rp 82.8 miliar.

Pada intinya, proyek pembabatan kabel udara dan pelebaran trotoar yang dilakukan pemerintahan Anies sudah benar. Lebih benar lagi jika itu bisa dilakukan tanpa harus menggusur pohon-pohon pelindung jalan. Jadikan "pohon-pohon aneh" itu sebagai bagian dari "seni trotoar". Itu lebih indah dan alami ketimbang instalasi bambu getah-getih atau bronjong karang.

Terhadap proyek tersebut dengan gembira saya harus katakan, "Pak Anies, lanjutkan!"

Demikian pandangan saya, Felix Tani, petani mardijker, mendukung pembabatan kabel udara dan pelebaran trotoar Jakarta, tapi menolak penggusuran pohon-pohon dari trotoar.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun