Ini kisah nyata tahun 1979. Seorang lelaki Batak asli Kampung Panatapan pernah hilang tersesat di sarang "homang". Seisi kampung heboh dibuatnya. Beruntung lelaki itu akhirnya berhasil ditemukan.
Apa itu "homang" sudah saya paparkan dalam artikel "3 Hantu Batak: Beguganjang, Homang dan Begulambak" (Kompasiana.com, 3/9/2019). "Homang" adalah satu dari tiga sosok "hantu jahat" yang hidup di alam pikir orang Batak (Toba). Â
Sekadar mengingatkan kembali, homang adalah hantu hutan yang diyakini gemar menyesatkan orang sehingga hilang secara misterius. Sosoknya digambarkan  tinggi-besar, berbulu panjang sekujur tubuh, telapak kaki terbalik, bergigi tajam, dan bermata bundar merah dengan sorot tajam. Makanannya daging dan buah-buahan hutan. Berdasar deskripsi ini, kira-kira wujud homang itu seperti manusia prasejarah yang hidup di gua-gua hutan.
Homang menyesatkan korbannya yang masuk hutan dengan cara memanggil-manggil namanya, yang diketahuinya saat mendengar seseorang memanggil nama korban. Korban kemudian akan bergerak ke arah suara homang memanggil, sampai kemudian tersesat dan tersekap di sarang hantu itu. Sekali korban sudah tersekap, dan makan sajian homang, maka dia menjadi linglung tanpa daya, sehingga tidak mampu menemukan jalan pulang.
Menurut legenda, Sariburaja, cucu Si Raja Batak dari anaknya Guru Tateabulan, menikah dengan Nai Mangiringlaut, anak gadis Si Raja Homang. Konon isterinya itu dipersunting sebagai hadiah atas kemenangannya dalam suatu perang tanding dengan Si Raja Homang di sebuah hutan. Seandainya kalah, taruhannya Sariburaja menjadi "anak tangga rumah" (budak) Si Raja Homang.
Â
Dari Nai Mangiringlaut, Sariburaja dikaruniai putra bernama Raja Borbor. Raja Borbor ini adalah leluhur marga-marga antara lain Pasaribu, Batubara, Harahap, Rangkuti, Matondang, Sipahutar, Â Lubis, Â Hutasuhut dan Daulay. Jika memperturutkan legenda Sariburaja, berarti marga-marga itu keturunan "homang" juga.
Â
Sudah pasti kebenaran empirik sebuah legenda wajib diragukan. Namun setidaknya legenda Sariburaja itu memberi indikasi bahwa aslinya "homang" itu bukan hantu. Â Sangat mungkin mahluk itu sejatinya adalah manusia primitif, Â mengingat legenda itu menceritakan generasi ketiga orang Batak. Â Alam pikir orang Batak tempo dululah yang kemudian mendefinisikan manusia primitif itu sebagai hantu "homang". Hantu yang menyesatkan dan memerangkap manusia di hutan untuk dijadikan "anak tangga rumah" alias budak.
Â
Begitulah teori hantu "homang". Pertanyaannya adakah fakta  empirik yang membuktikan "homang" nyata ada di Tanah Batak?  Nah, saatnya saya masuk pada kisah nyata seorang lelaki Batak yang tersesat di sarang "homang".
Â
***
Â
Lelaki itu, 36 tahun, Â sehari-hari dipanggil Ama Lamhot (sesuai nama anak sulungnya), warga kampung Panatapan, sekampung dengan Poltak, boleh dikata manusia Batak yang hidupnya sudah di jalan yang benar menuju cita-cita Batak yaitu "hamoraon-hagabeon-hasangapon" (kekayaan, keturunan, kemuliaan). Â
Â
Betapa tidak. Ama Lamhot dan Nai Lamhot isterinya punya sawah 2 ha, ladang 4 ha, rumah setengah tembok, kerbau 5 ekor dan babi 10 ekor. Itu namanya "hamoraon". Lalu anak 4 orang, lengkap 2 anak laki dan 2 anak perempuan, semua sehat jasmani dan rohani. Â Kelak 2 anak lelakinya akan memberi status "boru" (penerima isteri) dan 2 anak perempuan akan memberi status "hula-hula" (pemberi isteri) baginya. Itu namanya "hagabeon". Â Kelak bila anak-anaknya sukses hidupnya, beranak-pinak pula, Â dan indikasinya begitu, maka hidupnya akan dimuliakan orang. Itu namanya "hasangapon".
Â
Kehidupan sosial Ama Lamhot juga normal-normal saja. Â Selalu hadir dalam setiap kegiatan adat kerabat dan komunitas. Â Juga aktif dalam kegiatan sosial harian lelaki Batak di kampung Panatapan yaitu "marpollung di lapo" (ngobrol di kedai) di sore hari, sepulang kerja dari sawah atau ladang.
Â
Begitulah, pada suatu sore Ama Lamhot pamit pada isterinya pergi ke kedai langganannya di kampung Hutatoruan. Para lelaki kampung sekitar memang terbiasa kumpul ngobrol segala sesuatu di situ sambil minum segelas kopi atau teh manis. Â Mulai dari soal pertanian, adat, agama, sosial, budaya sampai politik dibincangkan di situ. Ama Lamhot termasuk salah seorang tukang bincang yang piawai di kedai itu. Â
Â
Sudah larut malam, Ama Lamhot belum kunjung pulang juga. Biasanya paling lambat sekitar pukul 7.00 malam dia sudah kembali ke rumah, makan malam, ngobrol dengan isteri dan anak-anak, Â lalu berangkat tidur. Tapi kali ini di luar kebiasaan. Â Nai Lamhot mulai cemas, jangan-jangan terjadi sesuatu dengan suaminya. Â
Â
Nai Lamhot lalu berinisiatif melaporkan ikhwal suaminya ke Amani Poltak, kepala kampung Panatapan waktu itu. Situasi mendadak ramai. Sebab para tetangga ikut nimbrung. Â "Tadi sekitar pukul 6 sore Ama Lamhot sudah pamit pulang duluan dari lapo," Ama Rugun, warga ujung kampung, yang sore tadi rupanya hadir di kedai bersama Ama Lamhot, Â memberi informasi penting. Â
Â
"Bah, hilang kemana dia kalau begitu?" Amani Poltak bertanya bingung. Â "Jangan-jangan disesatkan'homang' di Harangan Holbung," Ama Rugun menduga-duga. Â
Â
Harangan Holbung, sebuah hutan kecil yang terletak di antara kampung Panatapan dan kampung Hutatoruan, memang dipercaya orang kampung sebagai sarang hantu "homang". Â Jalan setapak lewat hutan itu adalah jalur terpendek yang menghubungkan Panatapan dan Hutatoruan. Â Jika hari sudah beranjak malam, warga kampung lazimnya menghindari lewat jalan itu, apalagi jika sendirian. Â Cerita turun-temurun memberitakan di hutan itu beberapa warga kampung pencari kayu bakar pernah hilang secara misterius. Tapi siapa saja warga itu dan kerabat siapa mereka tidak pernah jelas. Â
Â
Diduga kuat, Ama Lamhot lewat jalan itu saat pulang ke rumah tadi sore. Lalu, dengan tuntunan suatu nasib sial, mendengar "homang" memanggil namanya dan terpikat mencari sumber panggilan itu. Â Maka, warga menyimpulkan, Ama Lamhot telah hilang disesatkan hantu "homang" di Harangan Holbung. Selanjutnya warga, termasuk Nai Lamhot, Â sepakat mencari Ama Lamhot dan ramai-ramai bergerak dengan obor di tangan menuju hutan itu.
Â
Di Harangan Holbung warga secara berkelompok menyisir sudut-sudut hutan. Â Mereka memanggil-manggil Ama Lamhot terus-menerus. Â Tapi hasilnya nihil. Â Konon orang yang disesatkan hantu "homang" lidahnya kelu sehingga tidak bisa bicara. Jadi percuma juga sebenarnya warga memanggil-manggil Ama Lamhot. Dia tidak akan mampu menjawab sekalipun busa mendengar. Â Bahkan mungkin dia bisa meligat orang yang mencarinya, tapi warga tak bisa melihatnya karena penglihatan mereka dirintangi dinding rumah gaib "homang".
Â
Di saat warga sudah mulai lelah mencari tanpa hasil, tiba-tiba muncul Ama Ringkot, warga kampung Hutatoruan. Dia mendengar suara ribut di hutan dan hendak mencari tahu apa yang terjadi. "Ama Lamhot hilang disesatkan 'homang' di sini," Amani Poltak menjelaskan duduk soal. Â
Â
"Bah, percuma kalian cari Ama Lamhot di sini. Â Dia ada di 'parhomangan' Adianpussu," Ama Ringkot merujuk ke sebuah warung remang-remang di Adianpussu, di tepi jalan raya lintas Sumatera, setengah jam jalan kaki dari Hutatoruan. Â
Â
"Sembarangan bicara kau, Ama Ringkot! Â Tak mungkinlah suamiku ke sana. Dia rajin ke gereja. Dasar tukang fitnah kau!" Â Nai Lamhot meradang pada Ama Ringkot, demi mendengar suaminya disebut ada di warung remang-remang, bordil terselubung, di Adianpussu. Â
Â
Warung remang-remang Adianpussu itu  sudah tiga tahun beroperasi di sana dan menyedot uang dan energi sejumlah lelaki kampung sekitar.  Sebenarnya warung itu dimaksudkan melayani supir-supir truk lintas Sumatera yang butuh relaksasi tubuh dan rilis syahwat. Tapi karena di pintu masuk tidak ada tulisan "Warga Lokal Dilarang Masuk", maka masuk jugalah warga setempat ke sana.
Â
"Aku tidak fitnah, Nai Lamhot! Â Tadi aku bersama Ama Lamhot ke sana. Aku pulang duluan. Dia masih di sana," Ama Ringkot menegaskan informasi keberadaan Ama Lamhot.
Â
"Poraaang...!  Dasar babi anjing monyet kau!  Kubunuh kau bangsat...!" Nai Lamhot meradang menerjang berlari ditelan gelap malam menuju warung remang-remang Adianpussu.  Tanpa seorangpun bisa mencegahnya. Jika dia sudah menyebut nama kecil suaminya itu, berarti amarahnya sudah  tembus ubun-ubun.
Â
Apa yang kemudian terjadi di Adianpussu, tidak pantaslah dikisahkan di sini. Selain bukan intensi tulisan ini, kata Poltak, tidak bijak menyebar-luaskan kisah aib tetangga. Â Jadi cukuplah diceritakan bahwa Ama Lamhot, lelaki Batak yang dimaksud pada judul tulisan ini, telah tersesat di "parhomangan", sarang "homang", istilah yang disematkan warga setempat, atau orang Batak sana umumnya, pada perempuan lacur di warung remang-remang atau bordil liar.
Â
***
Â
Kisah Ama Lamhot yang tersesat di sarang "homang" itu adalah kisah tipologis yang menggambarkan respon kuktural orang Batak terhadap gejala merebaknya warung remang-remang atau bordil liar di tepi jalan raya lintas Sumatera pada akhir 1970-an (dan tahun-tahun berikutnya).
Â
Penganalogian perempuan lacur sebagai "homang" dan warung remang-remang atau bordil liar sebagai "sarang homang" adalah sebuah kecerdasan kultural. Â Di situ terjadi translasi gagasan "homang sebagai hantu hutan yang menyesatkan manusia" menjadi "homang sebagai perempuan lacur yang menggaet lelaki masuk ke dunia sesat". Â
Â
Orang Batak lantas tidak lagi memahami "homang" sebagai mahluk penyesat yang gaib, melainkan sebagai manusia nyata (perempuan lacur) yang mampu membuat kaum lelaki lemah iman tersesat di rumah bordil. Â Inilah makna baru "homang" menurut tafsir budaya Batak kontemporer.
Â
Penganalogian itu sungguh tepat.  Sekali seorang lelaki menikmati "layanan" perempuan lacur warung remang-remang, maka dia akan ketagihan dan semakin dalam tersesat di dunia lacur itu.  Tersesat secara moral dan sosial, karena melupakan  norma agama dan sosial yang menabukan pelacuran.
Â
Secara sosial juga lelaki yang terpikat oleh "homang" menjadi "hilang", dalam arti meninggalkan tanggungjawab terhadap keluarganya. Â Karena lebih perduli pada pemuasan nafsunya melalui konsumsi kenikmatan seksual yang disajikan perempuan "homang" lacur. Uang dan energinya tersedot ke sana.
Â
Sejatinya, bagi orang Batak masa kini, bukan hantu "homang" gaib yang menakutkan melainkan "homang" riil dalam wujud perempuan lacur yang beroperasi di warung remang-remang. Sungguh, jenis "homang" satu ini sudah menyesatkan banyak lelaki Batak, sampai-sampai mereka lupa akan tanggungjawab pada keluarganya.
Â
Demikianlah kisah lelaki Batak yang tersesat di sarang "homang" dari saya Felix Tani, petani mardijker, berdoa agar para "homang" bertobat jadi "human".(*) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H