Ketika sejumlah huta membentuk satu horja maka raja huta secara ex-officio menjadi anggota dewan horja. Lalu setiap horja akan mengutus seorang wakilnya duduk di dewan bius. Bius dipimpin dewan bius tersebut. Tapi dari dewan itu dipilih secara musyawarah seorang pemimpin yang disebut Raja Doli, sebagai primus interpares, yang menjalankan kepemimpinan sekuler bius.Â
Lembaga bius bertindak selaku otoritas kekuasaan dan pemerintahan atas seluruh wilayah dan masyarakat adat horja dan huta di dalamnya. Bius memegang kuasa pemerintahan terkait pertanahan, irigasi pertanian, tertib hukum adat, dan keagamaaan atau religi.Â
Jika ada permasalahan yang tidak dapat diselesaiakan di tingkat huta ataupun horja, maka akan diputuskan di tingkat bius. Semisal terjadi sengketa antar-huta atau horja atau dengan pihak "luar", maka bius akan turun tangan.
Dualisme Pemerintahan Adat Bius dan Desa Nasional
Eksistensi kuasa pemerintahan bius dalam masyarakat Batak (Toba) masih ada hingga hari ini. Kehadiran pemerintahan RI dalam bentuk desa dan Kecamatan tak sepenuhnya menghilangkan eksistensi pemerintahan adat bius.
Gejala dualisme pemerintahan lalu terjadi dalam masyarakat Batak. Pemerintahan adat bius dan desa nasional eksis secara bersamaan dan kerap menimbulkan konflik kekuasaan.
Konflik yang paling sering terjadi berkenaan dengan penguasaan tanah. Bius sebagai federasi huta/horja berpegang pada konsep golat, yaitu wilayah tanah yang dikuasai marga raja dengan batas-batas alami yang ditentukan saat pembukaan huta di masa lalu. Setiap huta memiliki wilayah golat yang bersifat definitif.
Golat itu berpasangan dengan homban, sumber (mata) air utama untuk menyokong kehidupan, khususnya untuk irigasi dan kebutuhan harian. Komunitas Batak aslinya adalah komunitas lembah yang mengandalkan sawah beririgasi tradisional sebagai sumber nafkah utama. Mata air di hulu (hutan) sedangkan sawah di hilir (lembah).Â
Ekonomi sawah lembah itu menjadikan wilayah golat lazimnya terentang mulaui dari lembah di hilir sampai ke hutan tempat homban atau sumber air di hulunya. Homban itu menjadi tempat yang dikeramatkan, diyakini di bawah kuasa dewi Boru Saniangnaga, dengan maksud agar tidak seorangpun mengganggu atau merusaknya. Misalnya dilarang keras secara adat menebang pohon di sekitar homban. Maksudnya jelas, untuk menjaga kelestarian sumber air.
Konflik kerap terjadi karena pemerintah, dulu Pemerintah Kolonial Belanda sekarang (diteruskan) Pemerintah RI, mengklaim kawasan hutan sebagai tanah milik negara. Tanpa memperhatikan bahwa kawasan hutan itu beririsan dengan golat suatu huta karena di dalamnya ada homban (sumber air) yang secara hukum adat masuk ke dalam penguasaan suatu pemerintahan adat huta atau bahkan bius.Â
Jika homban dan sebagian golat yang menjadi tempatnya kemudian diklaim pihak lain sebagai hak miliknya, maka eksistensi bangunan sosial Batak baik dalam satuan huta maupun bius menjadi terganggu. Prinsip bahwa raja huta menjamin kemakmuran seluruh warganya, termasuk boru ni tano atau boru ni huta, menjadi terganggu. Karena sebagian golat dan homban, yang menjadi sumber hidup, diambil dari penguasaan adat huta.
Ketidak-adilan dan kesulitan hidup akan mendera warga, sehingga harmoni yang inheren dalam bangunan sosial huta menjadi terganggu. Ini bisa berujung pada polarisasi sosial, misalnya antara pro-adat versus pro-pemerintah, sehingga bangunan sosial Batak asli terancam runtuh.