Tiga tahun lalu, dalam suatu kajian subuh Sabtu di Masjid Agung AnNur di Pekanbaru, Riau, seorang jamaah bertanya kepada Ustad Abdul Somad (UAS), "Apa sebabnya, Ustaz, kalau saya menengok salib menggigil hati saya?"
Â
"Setan! ... karena di salib itu ada jin kafir. Dari mana masuknya jin kafir? Karena ada patung. Kepalanya ke kiri apa ke kanan? ... Di dalam patung itu ada jin kafir." Jawab UAS, tegas dan meyakinkan. Sambil memperagakan posisi Yesus tersalib. Malangnya dia lupa kepalaNya miring ke kiri atau ke kanan.
Â
Perhatikan, Â UAS menyebut di dalam patung Yesus tersalib ada jin kafir. Berarti dia sedang membicarakan salib Gereja Katolik. Sebab hanya salib Katolik yang ada "Corpus Christi", figur simbolik "Tubuh Kristus". (Catatan: Pertanyaan jamaah hanya menyebut salib).
Â
Jawaban UAS tadi, yang sedang viral di media sosial, sontak mengundang ragam reaksi dari sebagian umat Kristiani Indonesia. Â Sebagian merasa tersinggung dan terhinakan. Sampai-sampai ada yang mengadukan UAS ke polisi. Â Dugaannya penisataan agama Kristiani. Â
Â
Saya, sebagai seorang Katolik yang salibnya menjadi obyek ujaran UAS, sedikitpun tidak merasa terhinakan oleh ujaran ustadz ini. Â Dengan segala ucapannya itu, dan pembelaan dirinya di ruang publik, saya tetap mengasihi UAS.
Â
Lantas, orang mungkin bertanya mengapa saya tidak terhinakan bahkan tetap mengasihi UAS? Â Saya akan sampaikan alasannya di sini.
Â
Yesus Telah MengampuniÂ
Â
Mati di kayu salib. Itulah puncak kehinaan manusia yang telah dialami  Yesus pada jamannya. Tidak ada yang lebih hina dibanding itu. Tentu dinilai dari sudut pandang manusia, khususnya orang Yahudi waktu itu.
Â
Orang-orang Yahudi yang menyalibkanNya berteriak mengejek: "Orang lain diselamatkanNya! Dirinya sendiri tidak!" Â Kira-kira kalau dibawa ke masa kini, itu seperti mengejek dukun pengganda uang. Lha, kalau bisa menggandakan uang, kenapa dia tidak menjadi orang terkaya sedunia.
Â
Tapi Yesus tidak marah dan tersinggung atas semua penghinaan itu. Sebaliknya Dia mengampuni orang Yahudi yang menyalibkanNya. DoaNya, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34).
Â
Doa Yesus itu adalah sabda pengampunan dari salib. Â Sabda itu berlaku untuk siapa saja yang telah menista atau menghina Yesus di atas ketidak-tahuannya. Â Baik sebelum Yesus wafat di kayu salib, maupun sesudahnya. Â Termasuk hari sekarang. Karena sabda Yesus kekal adanya.
Â
Maka sabda pengampunan itu berlaku pula untuk UAS. Sebab karena ketidak-tahuannya tentang makna Salib Kristus dari perspektif iman Kristiani khususnya Katolik, dia telah menyampaikan ujaran yang dinilai menghina inti iman oleh sebagian umat Kristiani.
Â
Mungkin UAS benar belaka dari perspektif iman yang diyakininya. Seperti juga orang Yahudi, dari perspektif imannya, menilai diri benar mendakwa Yesus sebagai "penghujat Allah", karena mengaku sebagai "Putra Allah", sehingga pantas disalibkan. Berdasar hukum kasih dari Yesus, orang seperti itu harus diampuni.
Â
Apa yang sudah diampuni Tuhan Yesus Kristus, berarti sudah dihapuskan, ditiadakan. Â Karena itu, sebagai seorang Katolik, pengikut ajaran Kristus, mustahil bagi saya bisa terhinakan oleh sesuatu yang telah ditiadakan Yesus yang saya imani. Â Jika saya merasa terhinakan oleh ujaran UAS, berarti saya telah mengingkari atau menentang Yesus Kristus.
Â
Yesus Mencintai Semua Manusia
Â
Pengampunan hanya mungkin jika ada kasih. Â Ketika Yesus ditanya seorang Farisi tentang hukum utama dalam Taurat, Yesus menjawab: Â "Kasihilah sesama manusia seperti kamu mengasihi dirimu sendiri" (Matius 22:39).
Â
Siapakah sesama manusia itu? Yesus menunjuk pada semua golongan. Dalam konteks sosial bangsa Yahudi waktu itu, Yesus secara eksplisit menunjuk pada orang Samaria, golongan yang dinajiskan orang Yahudi. Â Juga menunjuk pada perempuan dan anak-anak, yang dinomor-duakan dan dinomor-tigakan dalam struktur sosial Yahudi masa itu.
Â
Jadi, sesama manusia itu adalah "kita", apapun golongannya, termasuk yang terposisikan sebagai "musuh". Â Diterapkan ke konteks Indonesia, sesama itu adalah kita yang merumuskan diri sebagai "masyarakat Bhinneka Tunggal Ika". Â Sesama manusia adalah orang dari segala suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Â
Kasih tanpa pandang SARA itu mutlak sebagai syarat "damai di bumi". Â Sebab Yesus datang membawa damai ke bumi, ke tengah umat manusia yang berbeda-beda, bahkan saling bermusuhan. Â Jika tidak mengasihi sesama manusia, termasuk sesama yang terposisikan sebagai "musuh", atau sesama yang menista, mustahil damai tercipta dalam masyarakat.
Â
Mengampuni orang Yahudi yang menista dan membunuhNya di kayu salib adalah manifestasi kasih untuk menciptakan damai di bumi. Â Jadi jika Yesus telah menunjukkan kasih tak terhingga kepada orang Yahudi yang memusuhinya, melalui pengampunan nyata, maka siapakah saya sehingga berani membenci UAS yang ditengarai sebagaian umat Kristiani telah menista Salib dan Simbol Tubuh Kristus?
Â
Tidak, sebagai seorang Katolik, saya tetap melihat UAS sebagai sesama manusia yang selayaknya dikasihi. Jika saya menolak mengasihi UAS, semata-mata karena pernyataan "ada jin kafir dalam patung (Tubuh Kristus) di kayu salib", berarti saya telah menolak atau bahkan melawan Kristus. Â Maka, demi Kristus yang saya imani, saya mengasimu UAS. Â
Â
Soal Kematangan Beriman
Â
Alkisah, pada suatu sore Yesus menonton pertandingan sepak bola di Irlandia Utara. Tim Protestan dan Katolik berlaga di lapangan. Sebagai latar belakang, umat Katolik dan umat Protestan waktu itu tidak akur di sana. Â
Â
Ketika Tim Protestan menjebol gawang Katolik, Yesus melompat berteriak gembira. Saat giliran Tim Katolik membobol gawang Protestan, Yesus juga melompat berteriak gembira.
Â
Heran dengan sikap Yesus yang aneh, seorang penonton di belakangnya bertanya, "Hei, kamu memihak Tim mana sebenarnya? Jawab Yesus, "Saya tidak memihak tim manapun. Saya hanya menikmati pertandingan." "Dasar atheis, lu!" sembur penonton sewot.
Â
Apakah orang Kristiani harus tersinggung pada ujaran yang mencap Yesus atheis? (Faktanya Yesus seorang Yahudi). Kalau ada yang tersinggung dan merasa terhinakan, silahkan memperkarakan Pastor Anthony de Mello, SJ yang telah menyebar-luaskan kisah itu lewat buku "Burung Berkicau" (Jakarta: CLC, 1994).
Â
Kisah itu diceritakan de Mello sebagai otokritik terhadap kehidupan beriman orang Kristiani. Â Sama-sama pengikut Kristus kok ya musuhan. Â Itu artinya tidak mengakui Kristus sebagai sumber ajaran iman Kristiani. Â Tersirat dari ujaran menghina "Dasar atheis, lu!"
Â
Anekdot yang mengolok-olok umat Katolik dan Protestan Irlandia Utara itu adalah cermin kematangan dalam beriman. Â Mengatai Yesus atheis, sebagai manifestasi sikap mau menang sendiri dalam beriman, sehingga umat Katolik dan Protestan terperangkap dalam permusuhan lintas generasi, sejatinya adalah bentuk penghinaan pada Yesus sendiri. Â
Â
Jadi, umat Kristiani sendiri sebenarnya tak luput dari ujaran dan kelakuan yang menistakan Yesus Kristus. Maka tak layaklah berharap sebaliknya dari umat beriman lainnya. Tak usah marah jika ada orang beda iman menyatakan atau melakukan sesuatu yang bisa ditafsir menista Yesus.
Â
Kata kuncinya adalah kematangan dalam beriman. Â Orang yang matang imannya adalah orang yang teguh sekaligus rendah hati. Â Orang yang tidak mengagungkan diri di ruang publik seperti orang Farisi dalam masyarakat Yahudi di masa lalu. Orang yang "mengecilkan diri" di hadapan Tuhannya.
Contoh kematangan dalam beriman. Jika seorang pastor ditanya umatnya mengapa hatinya menggigil setiap melihat simbol agama lain, maka jawabnya pasti "Karena imanmu lemah." Solusinya, kuatkan iman, bukannya menyalahkan simbol atau ajaran agama lain. Â Jika pastor itu menyalahkan agama lain, berarti dia gadungan atau mungkin sudah bosan jadi pastor.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah dialog antara Yesus dan seorang Yahudi  sekitar 2000 tahun lalu. Dalam perjalanan ke Yerusalem seseorang bertanya,  "Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?" Jawab Yesus, "Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit itu! Sebab Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat. ..." (Lukas 13:22-30).
Â
Intinya, "pintu surga itu sempit". Â Maka hanya orang beriman yang mampu mengecilkan diri di hadapan Tuhan saja yang dapat melewatinya. Artinya, jika Surga adalah tujuan akhir kehidupan beriman pada Tuhan, maka hanya orang yang matang imannya saja yang boleh masuk melalui "Pintu Sempit" itu.
Â
Demikian keyakinan saya, Felix Tani, petani mardijker, berbicara sebagai seorang Katolik sejak bayi.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H