Jadwal rembug petani pukul 8.00 WIB, Rabu 26 Juni 2019, di Malang memaksaku mengambil penerbangan subuh dari Cengkareng ke Juanda, Surabaya. Tidak berhasil mendapat tiket  penerbangan Jakarta-Malang terpagi.
Â
Pesawat mendarat 6.30 WIB di bandara Juanda. Menurut hitunganku lebih cepat 15 menit dari jadwal. Mungkin pilot ngebut kejar setoran. Atau karena udara bebas hambatan pagi itu.
Â
"Satu jam bisa, Pak. Lewat tol", jawab Mas Agus, supir yang menemputku, menjawab pertanyaan tentang waktu tempuh ke Malang. "Gila!" pikirku. Maha hemat jalan tol terhadap jarak dan waktu. Â
Â
Saya teringat perjalanan pertama dari Surabaya ke Malang tahun 1988. Naik bus dari Terminal Purabaya ke Malang, sekitar 2.5 jam. Karena diselingi turun dan naik penumpang sepanjang jalan. Tol memangkas waktu tempuh itu kini sekitar 50 persen.
Â
Keluar dari area bandara Juanda langsung masuk tol. Langsung pula disambut keindahan "sunrise" di ufuk timur. Luar biasa. Â
Dua tahun lalu saya bersama keluarga harus terpontal-pontal di atas jip "tanpa nurani" untuk menyaksikan "sunrise" di Bromo. Gagal pula, karena awan kelewat tebal. Sekarang, cukup keluar dari bandara Juanda, bisa menikmati "sunrise" gratis.
Â
Maksud hati mau bayar tidur yang terampas bangun subuh untuk ngejar pesawat. Apa daya, selewat Gempol pandangan tertumbuk pada "gunung kembar" Arjuna dan Welirang di sebelah kanan tol. Terpesona. Kantuk langsung menguap.
Â
Itu imajinasiku, tentu saja. Tapi jujur, itu membuatku senang. Â Bisa berimajinasi puitis di pagi hari. Kemewahan untuk seorang warga Jabodetabek yang selalu pasrah tersiksa sepanjang tol Jakarta-Cikampek. Â Ruas tol yang paling sadis, menurut pengalamanku kini.
Â
Menjelang Lawang, ke sebelah kiri jalan, mataku dimanjakan pemandangan lapis-lapis perbukitan dan pegunungan yang berselaput kabut tipis. Itulah jajaran Bromo sampai Semeru.Â
Selaput kabut tipis itu mencitrakan perempuan yang masih tergolek di peraduan pagi hari. Dengan gaun tidur tipis menerawangnya. Entah apa yang terjadi tadi malam, sehingga sepagi ini dia masih lelap.
Â
Menjelang gerbang tol Singosari, pintu masuk kota Malang, mataku dimanjakan hamparan  kebun tebu yang sedang berbunga. Bunganya putih berbentuk sulak, seakan membersihkan debu di udara pagi Malang. Mungkin itu sebabnya udara kota tersebut menjadi segar.
Â
Sekali lagi, itu imajinasi peluluh kantuk. Sebelum pikiran realistis petaniku mengganggu. Sebab bunga tebu bagi petani adalah penanda petaka. Artinya rendemen gula tebunya telah merosot. Alamat merugi.Â
Jangan kau biarkan fakta itu mengganggu imajinasi indahmu. Ketika kau saksikan hamparan tebu berbunga indah.Â
Manjakan saja matamu, sobat. Nikmatilah kurnia alam indah selagi mata belum rabun.  Agar  tak timbul sesal dalam dadamu kelak.
Â
Mobil sudah keluar dari gerbang tol Singosari. Sudah masuk kota Malang. Cerita pemanjaan mata sepanjang tol Surabaya-Malang selesai sudah.Â
Ya, pemanjaan bagiku. Mungkin tidak, bagi mereka yang saban hari wara-wiri di jalur itu. Betapa malang mereka, jika benar begitu.
Â
Itulah ceritaku, Felix Tani, petani mardijker, orang sawah yang sedang belajar imajinasi sehat.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H