Akhir-akhir ini di ruang komentar artikel Kompasiana ada beberapa orang "Kompasianer" (?) yang mampir dengan permintaan agar sudi mengisi kuesioner pada link ini. Katanya dalam rangka penelitian (survey) "Motif Kompasianer Menjadi Jurnalis Warga".
Sebenarnya pelaksanaan survey semacam itu merupakan bentuk pengakuan pada blog ombyokan Kompasiana. Artinya, blog gotong-royong ini dinilai sebagai suatu "komunitas media sosial" yang terkemuka dan berpengaruh signifikan, sehingga menarik untuk diteliti. Jika alasannya seperti itu, maka sebuah survey tentang "motif" sebenarnya terlalu kecil. Â
Blog Kompasiana dan komunitas Kompasianer-nya sejatinya adalah lahan riset media sosial yang kaya isu. Semisal dampaknya pada tingkat kemampuan literasi digital, pembentukan solidaritas sosial, pembentukan opini politik, dan lain sebagainya.
Masalah Validitas
Kembali pada permintaan untuk mengisi kuesioner on-line (fasilitas google form, https://docs.google.com/forms) tadi, dengan segala maaf, saya belum bisa memenuhinya. Bukan karena isu risetnya menurut saya "kecil" tapi lebih karena masalah keraguan saya pada validitas data yang dihasilkan oleh instrumen (kuesioner) on-line semacam itu.
Intinya saya meragukan kemampuan teknik wawancara on-line, dalam hal ini penggunaan instrumen on-line "google form", untuk menangkap informasi atau data yang "sebenarnya".Â
Alasannya, seorang responden (penjawab pertanyaan wawancara) "bukan orang yang sepenuhnya jujur dan terbuka". Karena itu, dalam penelitian survey yang serius, wawancara dengan responden dilakukan secara tatap muka. Tujuannya untuk menilai kejujuran dan keterbukaan responden dari ekpresi wajah, volume suara, tempo bicara, gestur dan lain-lain. Â
Baca juga : Pengembangan Kuisioner Penelitian
Jika pewawancara menilai responden belum terbuka, atau belum bicara jujur sesuai kenyataan atau keadaan sebenarnya, maka dilakukanlah "probing" atau pertanyaan pendalaman. Sebab mungkin ada hambatan-hambatan psikologis pada diri responden untuk mau jujur dan terbuka.
Hambatan psikologis utama sudah pasti adanya jarak sosial antara "responden" dengan "pewawancara" (peneliti). Kedua pihak asing satu sama lain. Baru bertemu saat wawancara, untuk 2-3 jam pembicaraan. Bagaimana mungkin berharap responden bisa langsung bicara jujur dan terbuka kepada pewawancara?