Pilpres 2019 itu adalah pesta demokrasi. Jika definisi demokrasi mencakup pembelajaran dari sebuah rivalitas, maka selayaknya jika kedua pasangan capres-cawapres saling belajar satu sama lain. Untuk menjadi capres-cawapres yang semakin meningkat kualitasnya, sehingga peluang terpilihnya juga meningkat. Â
Intinya, jangan ada pasangan capres-cawapres yang bebal. Merasa benar dan hebat sendiri. Ogah belajar dari rivalnya. Ujung-ujungnya capres-cawapres semacam itu akan menuai kekalahan.
Terkait belajar dari rival itu, saya ingin mengangkat peristiwa Kampanye Akbar Prabowo-Sandi, Minggu 7 April 2019 yang lalu sebagai bahan pembelajaran untuk Jokowi-Ma'ruf. Untuk penyelenggaran kampanye terbuka di GBK Senayan tanggal 13 April 2019 nanti.
Bukan pembelajaran aspek kuantitatifnya. Khususnya agar mampu menarik massa dua kali lipat dari jumlah massa Kampanye Akbar Prabowo-Sandi yang mereka klaim.Â
Bukan itu. Sebab mendatangkan 2 juta orang ke GBK Senayan adalah pekerjaan yang teramat mudah. Itu bukan hal yang subtantif. Saya lebih tertarik bicara tentang kualitas.
Ya, kualitas sebuah Kampanye Terbuka, terserah mau dinamai apa. Bisa Kampanye Akbar, Rapat Umum, atau Rapat Rakyat. Untuk kampanye terbuka Jokowi-Ma'ruf nanti di GBK Senayan, saya ingin menarik dua pokok pembelajaran penting dari Kampanye Akbar Prabowo-Sandi tempo hari.
Ada 2 pokok pembelajaran penting untuk tidak ditiru atau terulang pada kampanye terbuka Jokowi-Ma'ruf nanti.
***
Pelajaran pertama, jangan eksklusif menjadi panggung "unjuk kekuatan" satu kelompok agama sendiri, dalam hal ini agama Islam, yang memang harus diterima sebagai agama mayoritas di negara ini.Â
Pada artikel yang saya tulis kemarin, dengan pendekatan interpretivisme a'la Geertzian, saya sudah sampaikan tafsir makna Kampanye Akbar Prabowo-Sandi, yaitu secara hipotetis sebagai "sebuah pernyataan politik tentang kemungkinan tampilnya eksistensi kelompok Islam pendukung cita-cita negara Khilafah jika Prabowo-Sandi memenangi Pilpres 2019". Saya sebut itu sebagi "pesan terbuka tentang adanya kemungkinan pembubaran NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD1945".