Mengapa seekor katak merasa diri paling besar sejagad? Karena dia berada di bawah tempurung. Diperlukan sepakan kaki seekor lembu untuk membuka tempurungnya. Â
Cakrawala luas terbuka. Tapi Si Katak masih tidak terima dirinya menjadi kecil. Maka dia menggembungkan tubuh sebesar-besarnya. Sampai meletus.
Mengapa Si Katak tak mencoba belajar dungu? Menyadari bahwa secara fisik memang dia hanya setitik renik di jagad raya? Bahwa pengetahuannya tentang jagad raya juga sangatlah renik? Dengan kata lain mengakui diri dungu?
Mengakui kedunguan adalah langkah awal terbaik menuju kecerdasan. Semakin menilai diri dungu, berarti semakin besar kebutuhan untuk tahu, dan semakin besar pula kemauan untuk mencari tahu.Â
Begitulah proses terbentuknya kecerdasan.
Ada banyak jalan menuju Monas, tapi harus memilih salah satu yang paling efisien dan menyenangkan.
Begitu pula, ada banyak cara cerdas menjadi dungu, tapi membaca Kompasiana adalah salah satu yang paling efisien dan menyenangkan.
Kompasiana adalah wahana yang membuat saya setiap saat menjadi dungu. Setiap membaca satu artikel baru yang inspiratif, kreatif, ataupun informatif, saya selalu berpikir "Mengapa saya begitu dungu sehingga tidak tahu soal ini?"
Beruntunglah ada banyak penulis berdedikasi di Kompasiana ini. Â Yang selalu siap berbagai pengetahuan. Yang membuat saya tiba-tiba dungu. Tetapi seketika juga mengalami pencerdasan.
Sebenarnya saya sedikit heran pada Admin Kompasiana. Sebegitu banyak manusia cerdas di Kompasiana. Tapi setiap kali event Kompasianival, selalu saja mengundang narasumber dari luar sana.
Mengapa tidak terpikir untuk mendayagunakan kekayaan Kompasiana, yaitu barisan Kompasianer dari beragam disiplin ilmu dan profesi?