Memasyarakatkan sarung, menyarungi masyarakat Batak. Itulah, saya kira, salah satu jasa besar kota Balige, Toba-Samosir, bagi masyarakat Batak Toba.
Karena itu, kendati pasti ada kemarahan karena dijajah, tak dosa juga jika orang Batak berterimakasih pada Pemerintah Kolonial Belanda. Karena telah menumbuhkan Balige sebagai industri tenun tahun 1930-an.
Sarung, setempat disebut mandar, adalah ikon kota tua Tanah Batak ini. Kecuali yang lahir dan besar di Jawa, mestinya tidak ada orang Batak yang tak kenal dan tak pernah merasakan kehangatan sarung Balige.
Sarung katun yang hangat tapi cepat lusuh ini serba guna. Mulai dari kain bedong bayi, ayunan balita, bawahan harian dan tudung kepala untuk kaum perempuan, sampai selimut tidur di malam hari.
Balige sejatinya tak hanya punya sarung tenun sebagai penanda. Ada Rumah Sakit HKBP karya Zendeling RMG, Jerman yang didirikan tahun 1918. Lalu Onan (Pasar Tradisional) Balige dengan deretan enam balairung berarsitektur Rumah Batak yang dibangun Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1936. Ada makam Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII di Soposurung. Serta patung Pahlawan Revolusi Jenderal D.I. Panjaitan tepat di bundaran jantung kota.
Tapi penceritaan sebuah kota perlu cara. Inilah caraku: mengisahkan perkembangan kegiatan ekonomi terpenting di sebuah kota. Untuk kasus Balige, itu berarti cerita tentang industri tenun Balige.
Industri yang signifikan membentuk struktur sosial-ekonomi Balige dan peran sentral kota ini dalam sejarah ekonomi pulau Sumatera, khususnya bagian utara.
Geografi Balige
Ibukota Kabupaten Toba-Samosir ini, 235 km di selatan Medan dan 25 km di utara Siborongborong, berada di kaki Gunung Doloktolong, tepi pantai selatan Danau Toba.
Segera setelah Perang Batak usai (1878-1907), ditandai dengan tewasnya Sisingamangaraja XII, Penjajah Belanda menjadikan Balige ibukota Onderafdeling Toba, di bawah Afdeling Bataklanden. Belanda segera melihat nilai strategis Balige secara politik dan ekonomi.Â
Karena letak geografisnya di jantung Tanah Batak, mobilisasi militer dan barang ke seluruh penjuru Tanah Batak akan menjadi lebih efisien. Baik melalui jalur perairan danau ke barat, ke Pulau Samosir dan desa-desa pantai Danau Toba. Maupun lewat jalur darat ke timur, Habinsaran, ke selatan, Humbang dan Silindung, dan ke utara, Sumatera Timur.
Karena itu Pemerintah Kolonial Belanda berkepentingan mengembangkan kota pelabuhan ini sebagai pusat ekonomi Tanah Batak.