Revolusi plastik di Kampung Pardolok betul-betul sukses mengubah kesadaran hidup selaras alam menjadi hidup serba plastis yang praktis. Plastik menjadi penanda kehidupan modern. Tidak pakai perlengkapan atau peralatan plastik, berarti kuno, ketinggalan zaman.
Tidak hanya di lingkup domestik. Ruang publik pun ikut digarap revolusi plastik. Pesta-pesta adat Batak sekarang sudah menggunakan piring dan cangkir plastik, tikar plastik, dan tenda plastik. Sebelumnya, makan bersama dalam pesta menggunakan daun pisang sebagai wadah nasi dan lauk, dan makan secara berkelompok. Cangkir minum terbuat dari potongan ruas bambu. Tikar untuk duduk berbahan mendong. Lengkap dengan peneduh dari tegakan daun enau. Semua serba alami.
Revolusi telah membuat pikiran warga Kampung Pardolok sedemikian plastisnya. Sehingga ada yang berharap bisa mendapatkan periuk dan kuali plastik. Atau mungkin bukan pikiran plastis, tepatnya, tapi pikiran yang keracunan plastik.
***
Revolusi plastik sudah merasuk sampai ke kampung-kampung sejak 1970-an, sehingga kesadaran dampak jahat tumpukan limbah plastik sekarang ini sejatinya sudah sangat terlambat.
Warga republik ini sudah tergila-gila pada plastik. Hampir semua bidang kehidupan tidak bebas dari intervensi unsur plastik. Sehingga kampanye reduksi plastik, diet plastik, no-plastic atau apapun namanya itu, tak akan mudah mencapai hasil.
Tapi mengingat dampak jahat plastik, memang kontra-revolusi plastik harus digerakkan. Dan sebaiknya ini terutama adalah "kontra-revolusi dari atas", dari pemerintah dan pengusaha yang punya kekuasaan untuk mengendalikan penggunaan plastik.
Namun "kontra-revolusi kecil dari bawah", khususnya dari rakyat pedesaan juga tidak muskil. Gerakan kembali ke peralatan dan perlengkapan berbahan alami bisalah dikobarkan. Gunakan kembali centong batok, gayung batok, sendok kayu, tali ijuk, keranjang rotan, karung goni, ember kaleng, piring dan cangkir kaleng, dan lain sebagainya.
Kembali ke belakang untuk manfaat selalu lebih baik ketimbang terus ke depan untuk mudarat. Orang kota kini sebenarnya sudah mulai kembali ke peralatan dan perlengkapan berbahan alami, tepatnya non-plastik.Â
Sayangnya, harga peralatan dapur berbahan kayu sekarang memang menjadi lebih mahal ketimbang plastik. Mungkin mengikuti tren produk organik lebih mahal ketimbang produk non-organik.
Ketika orang kota kini sudah mulai setapak melangkah ke produk non-plastik, orang desa seperti di Kampung Pardolok masih dikepung plastik. Langkah orang desa agaknya selalu sedikitnya setindak di belakang orang kota.Â