Minggu ketiga Februari 2019. Ada ketaklaziman yang mengundang tanya di pekuburan Kampung Kandang, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Sejauh dan seluas mata memandang, hanya tampak warna hijau pada rerumputan di gundukan makam dan tajuk barisan pohon glodokan dan bintaro.
Lazimnya di gundukan-gundukan makam itu ada saja warna-warni bunga mawar, seruni, dan sedap malam yang terangkai di dalam aneka vas kaca dan tanah liat.
Kali ini, tidak ada warna-warni bunga di pekuburan Kampung Kandang. "Apa yang terjadi di pekuburan sini?" tanyaku dalam hati.
"Apa yang terjadi di sini?" Ini adalah pertanyaan ekologis. Sebab ekologi tidak berbicara tentang apa yang ada di satu bentang alam. Tetapi memberi jawaban tentang apa yang terjadi di suatu bentang alam.
Kuburan adalah suatu bentang alam buatan. Maka pertanyaan "apa yang terjadi di sini" berlaku pula untuk pekuburan. Secara spesifik, di sini berarti pekuburan Kampung Kandang.
***
"Dilarang pihak Kelurahan, Pak," jawab Kang Jangkung, perawat kubur kerabat kami, ketika saya tanyakan soal vas dan bunga-bunga yang mendadak hilang dari pekuburan.
Apa pasalnya? Pikirku. "Katanya jadi sarang nyamuk. Jadi petugas kelurahan turun untuk mengambil dan membuang semua vas bunga," Kang Jangkung menjelaskan lebih lanjut. Hebat. Dia tahu apa yang berkecamuk di benakku.Â
Nyamuk Aedes aegypti memang sohor sebagai pembawa virus demam berdarah dengue (DBD) yang sedang berjangkit di Jakarta.
Menurut data 28 Januari 2019, Kecamatan Jagakarsa tercatat sebagai wilayah dengan kejadian tertinggi (incidence rate/IR per 100,000 penduduk) yaitu 19.27 IR. Menyusul Kalideres (16.94 IR), Kebayoran Baru (16.54 IR), Pasar rebo (13.93 IR) dan Cipayung (13.57 IR).