"Lagi pula, siapa nanti yang akan menjaga kerbau-kerbauku," tambahnya.
Kakek Poltak alasannya lebih praktis lagi."Sudah sakit-sakitan begini, mengapa harus takut mati?" katanya."Dalam Injil dikatakan bahwa kematian adalah kemenangan," lanjutnya.
Entah benar entah tidak ada dalam Injil dikatakan begitu, entahlah. Yang pasti kakek Si Poltak ini rajin baca Kitab Suci walau tak pernah ke gereja. Dan tidak ada yang menyebutnya kafir.
Maka tinggallah kakek dan nenek Si Poltak di kampung. Mungkin mereka berpikir hidup berkepanjangan tak penting-penting amatlah.
"Umur kami tujuh puluh tahun, jika kuat delapan puluh tahun, kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan," kata Kakek Poltak. Itu pasti kutipan dari Mazmur, entah ayat berapa.
Nenek Poltak adalah tipe manusia kreatif bahkan saat menghadapi kemungkinan mati keracunan gas klorin.Â
"Kita harus makan enak!" katanya pada Kakek Poltak. Maka dipotonglah ayamnya yang paling gemuk dan diolah dengan terampil menjadi gulai ayam ala Batak yang pasti nikmat.
"Sebelum mati kita makan-makan enak dulu. Jangan sampai mati kelaparan," katanya saat mengangsurkan sepiring nasi dan dua potong gulai ayam ke hadapan Kakek Poltak.
Begitulah, kakek dan nenek Si Poltak makan enak berlauk gulai ayam selama hari-hari sebagian warga desa mengungsi. Ya, setidaknya itu cara terbaik yang dapat mereka lakukan untuk menjemput kematian. Jika gas klorin sialan itu nanti datang.
***
Setelah tiga empat hari tidak ada kabar kematian karena keracunan gas klorin tersiar dari Porsea atau Toba umumnya, warga Desa Panatapan pulang kembali ke kampungnya.