Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Revolusi Celana" di Tanah Batak

11 Januari 2019   12:01 Diperbarui: 12 Januari 2019   04:27 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan bercelana panjang membawa barang dagangan ke pasar (Foto: medanbusnisdaily.com)

Revolusi tidak selalu menakutkan dan bicara revolusi tidak mesti berapi-api. Revolusi bisa sangat menarik dan dibicarakan dalam gempita. Misalnya, hiruk-pikuk Revolusi Teknologi 4.0 yang membuat para direktur dan manajer IT korporasi "demam".

Juga, revolusi tak mesti membakar seantero negeri. Bisa saja diam-diam, "revolusi bisu", seperti "seorang suami yang lagi nongkrong di WC mengirim pesan WA kepada isterinya agar sabar dikit nunggu di ranjang". Itu revolusi komunikasi pasutri

Saya hendak berbagi cerita revolusi yang lebih diam dan lebih ringan lagi. Sebuah revolusi yang tak banyak disadari, karena mungkin tidak dianggap revolusi. Sebab orang kadung berpikir revolusi itu sebuah penjungkiran, perubahan struktural secara radikal dan cepat. 

Baiklah, asal tahu saja, "radikal" itu relatif dan "cepat" itu juga relatif. Seradikal apakah kira-kira, misalnya, "Revolusi Putih" (revolusi susu) yang digagas Pak Prabowo? Secepat apakah kira-kira, misalnya, "Revolusi Mental" yang digagas Pak Jokowi?

Dengan relativisme seperti itu, maka saya ingin membagi suatu kisah "revolusi diam" di Tanah Batak. Saya sebut dia "Revolusi Celana". Dari namanya saja sudah jelas ini cerita revolusi yang ringan dan lucu saja. Jadi tak perlu pasang kerut di dahi membacanya.

***

"Revolusi Celana" yang dikisahkan di sini adalah perubahan jenis pakaian yang dikenakan kaum perempuan untuk menutup bagian bawah tubuhnya, dari pinggang ke pergelangan kaki, yaitu dari jenis sarung/rok ke jenis celana panjang (aneka model).

Lalu mengapa mengambil kasus "Tanah Batak"? Alasannya, sederhana saja, karena kisah ini berdasar pada pengalaman pribadi semasa kanak-kanak sampai remaja di Tanah Batak sana. Tahun 1960-an sampai 1970-an. 

Karena pengalaman pribadi, maka sudah pasti pendekatannya studi kasus. Tepatnya studi kasus di kampung saya sendiri, Kampung Pardolok (pseudonim), terletak di satu titik di tepi jalan raya trans-Sumatera pada ruas Parapat-Balige.

Dilihat dari posisi geografisnya, Kampung Pardolok tidaklah udik-udik amat. Sekurangnya anak-anak kampung ini pada masa itu tiap hari sudah menyaksikan aneka kendaraan bus, truk, jeep, sedan, sepeda motor, dan skuter melintas di jalan raya. Dibanding misalnya anak-anak Parsoburan di pegunungan sebelah timur Balige sana.

Sampai paruh pertama 1970-an, model pakaian untuk perempuan di kampung ini masih tradisional, khususnya penutup pinggang ke bawah. Sehari-hari mereka mengenakan sarung, umumnya sarung katun produksi industri tenun Balige. Atau mengenakan bawahan rok sebatas bawah lutut, atau rok terusan, juga sampai bawah lutut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun