Kedengarannya hebat, tapi C. Geertz kemudian mengungkap "keburukan" ekonomi ganda itu dengan mengajukan konsep "kemiskinan terbagi" (shared poverty). Benar bahwa pabrik tebu menghasilkan timbunan surplus, tapi terlalu kecil bagian yang diterima petani baik sebagai hasil pembayaran tebu segar maupun sebagai upah buruh pabrik.
Pada akhirnya, petani dan buruh tebu harus bertumpuk menggantungkan kebutuhan subsistennya pada swah sekali tanam per tahun. Terlalu banyak orang bergantung pada terlalu sempit sawah sehingga. Inilah kondisi yang disebut Geertz sebagai involusi pertanian, yang menimbulkan gejala kemiskinan terbagi di desa-desa lingkar pabrik gula.
***
Ketika meresmikan berdirinya Tjolomadoe tahun 1861, K.G.P.A.A Mangkunegoro IV sebagai pemilik pertama mencanangkan "Pabrik iki openono, nadyan ora nyugihi nanging nguripi". Artinya, "pabrik ini agar dirawat, walaupun tidak bisa membuat kaya tapi bisa menghidupi (masyarakat sekitar)".
Fakta bahwa petani sekitar pabrik terjebak dalam ekonomi ganda, yang berujung pada involusi pertanian (sawah) dan kemiskinan berbagi, membuktikan bahwa cita-cita Mangkunegoro IV tentang "gunung madu" yang menghidupi rakyat tidak pernah menjadi kenyataan.
Foto-foto pencurian tebu dan pembakaran kebun tebu Tjolomadoe (di tanah sewaan) oleh petani adalah fakta penguat kesimpulan yang tak menggembirakan tentang manfaat Tjolomadoe untuk rakyat di masa lalu.
Saya harus minta maaf untuk laporan kunjungan yang tak semestinya ini, yang tidak mengabarkan kemegahan museum Tjolomadoe kini. Biarlah para milenial yang mengabarkan hal-hal seperti itu.
Saya, Felix Tani, petani mardijker, berkunjung ke museum untuk melihat apa yang terjadi sebelum ada museum.***
Solo, 1 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H