Apa yang mungkin terasa saat berkunjung ke De Tjolomadoe, eks-pabrik gula Tjolomadoe (gunung madu) di Krambilan, Karanganyar yang telah ditransformasi konsorsium BUMN menjadi museum pabrik gula berkonsep millenial?
Tergantung siapa yang merasa. Kerabat Mangkunegaran mungkin akan merasakan kepedihan, menyaksikan pabrik yang dulunya milik Praja Mangkunegaran itu kini telah berubah di luar kuasanya.
Direksi Konsorsium BUMN yang mentransformasi eks-pabrik itu mungkin merasa sangat bangga, telah menegakkan satu tetenger baru untuk Surakarta, sebuah spot wisata sejarah ekonomi sekaligus wahana ragam event sosial, ekonomi, dan budaya.
Pengunjung milenial yang cenderung berwatak a-historis mungkin merasa exciting mengalami spot wisata museum yang sungguh instagramable. Berkelebatan selfie sana selfie sini untuk kemudian langsung upload di akun instagramnya.
Tapi ketimbang terpesona dengan gigantisme pabrik itu di masa lalu, saya lebih tertarik mencari informasi tentang konteks sosial pabrik gula Tjolomadoe di masa lalu. Informasi yang akhirnya saya dapatkan serpihnya dalam wujud fakta tersembunyi dalam laci display arsip tata usaha.
Di laci itu saya temukan arsip foto-foto kasus pencurian tebu oleh warga desa sekitar dan kasus kebakaran kubun tebu di masa lalu. Foto-foto itulah yang mengantar saya pada upaya mengungkap konteks sosial Tjolomadoe di masa lalu.
***
Pencurian tebu dan kebakaran kebun (yang disinyalir karena ulah petani sekitar), jika merujuk J. Scott adalah bentuk resistensi atau perlawanan petani kepada kekuatan kapitalis. Bukan karena terlalu banyak surplus yang disedot perusahaan seperti pabrik gula Tjolomadoe. Tapi karena terlalu sedikit yang tersisa untuk petani, sehingga untuk hidup subsisten (sekadar cukup makan) pun tak bisa lagi. Maka, mengutip Wiji Thukul, bagi petani hanya ada tersisa satu kata: "Lawan!"
Pola "tanam paksa" itu diterapkan Tjolomadoe juga karena tebu ditanam di areal tanah apanage dan tanah lungguh yang sudah ditarik Mangkunegaran ke bawah pengelolaannya. Jadi tidak ada ruang bagi petani menggarap tanah Mangkunegara kecuali dia bersedia menanam tebu untuk bahan baku Tjolomadoe.
Sistem tanam paksa semacam itulah yang kemudian mendasari munculnya teori "ekonomi ganda" (dual economy) dari H. Boeke. Petani berjejak di dua sektor ekonomi: di perkebunan (tebu) untuk melayani ekonomi modern (industri gula) dan di sawah untuk memenuhi ekonomi subsisten. Pabrik Tjolomadoe termasuk salah satu organisasi ekonomi modern yang mengukuhkan ekonomi dualistik itu.