Intinya, jika seorang capres/cawapres, apalagi jika sudah berstatus presiden/wapres, menggunakan gaya bahasa campuran Inlish, berarti dia tidak yakin pada "kekuatan Bahasa Indonesia". Â Sehingga perlu disokong dengan bahasa Inggris. Â Implisit di situ, Bahasa Indonesia disubordinasikan terhadap Bahasa Inggris. Â Pantaskah seseorang berada pada posisi capres/cawapres jika dia meremehkan kekuatan bahasa nasionalnya sendiri? Atau secara spesifik menempatkannya di bawah Bahasa Inggris?Â
Barang kali ada yang berdalih membela Sandiaga begini, "Itu kan gaya bahasa generasi milenial!" Â (Karena Sandiaga sedang berusaha menggaet suara kaum milenial). Â Itu jelas dalih keliru. Â Ingat, gaya bahasa Inlish ala "Anak Jaksel" itu hanya poluper di kalangan anak muda Jakarta Selatan. Â (Sandiaga mungkin mengidentifikasi diri sebagai salah seorang dari kelompok itu). Â Gaya bahasa anak muda Jakarta Non-Jaksel tidak begitu, "waras-waras" saja. Â Atau kalau mau membanding "kesemek dengan kesemek", gaya bahasa Erick Thohir juga normal-normal saja.
Tapi terserah pada Sandiaga saja.  Jika dia tetap firm dengan branding "Anak Jaksel", it's okay.  Not may business.  Tapi jika dia ingin tampil dengan citra "Putra Indonesia", maka dia perlu mengubah gaya bahasanya menjadi seturut  "Bahasa Indonesia yang baik dan benar".  (Seperti apa "Bahasa Indonesia yang baik dan benar" itu, untuk sementara merujuk saja dulu pada pedoman yang dikeluarkan lembaga Pusat Bahasa Indonesia.
Itu pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, sedang berjuang menjadi  penutur Bahasa Indonesia yang baik dan benar.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H