Kalau saya tulis "Sandiaga literally Anak Jaksel", berarti  saya sedang memastikan Sandiaga Uno sejatinya anak Jakarta Selatan. Dia menjalani masa SMA-nya di Jakarta Selatan.  Lalu kini berdiam dan menjalankan bisnis di Jakarta Selatan.  Faktanya begitulah.
Tapi karena saya tulis "Sandiaga literally 'Anak Jaksel'" -- Anak Jaksel quote and quote -- maka actually saya sedang  menunjuk pada  Sandiaga Uno yang meng-adopt gaya bahasa "Anak Jaksel".  Maksud saya gaya bahasa gado-gado Indonesia-English (Inlish) which is kini menjadi code mixing di kalangan anak muda Jakarta Selatan. Â
Di sini saya tak hendak membahas asal-usul dan pewabahan code mixing Inlish di lingkungan "Anak Jaksel". Â Juga tak hendak menilainya sebagai seuatu atau yang baik atau buruk. Â Biarlah para peminat atau peneliti bahasa yang mengurusi soal itu.
Saya hanya ingin menyampaikan pandangan bahwa gaya bahasa Inlish itu funny and enjoy jika dipraktekkan di kalangan anak muda, khususnya "Anak Jaksel". Â Kendati bikin puyeng benak kakek-nenek yang iseng kepo. Â Tapi ketika seorang bakal calon cawapres bernama Sandiaga Uno juga ikut mempraktekkan Inlish ala "Anak Jaksel" sebagai gaya bahasa harian, saya menilai ada ketidak-pantasan di situ.
Coba simak penggalan ujaran Sandiaga soal pem-bully-an "tempe setipis kartu ATM" dalam gaya bahasa Inlish "Anak Jaksel" berikut: "... Itu dari Bu Yuli dan rekannya di Duren Sawit itu exactly. Â Word by word yang disampaikan mereka. ...Dengan kedelai yang diimpor itu dolarnya naik, ya pasti akan naik harga tempe. As simple as that. Jadi do not be overdramatic atau melodramatis terhadap isu. Â ... Jangan juga denial begitu, lo. Kita accept-lah." ("Tempe Setipis ATM Dikritik, Sandiaga: Don't Be Overdramatic", detik.com, 11/9/18).
Bayangkan kalau ujaran dan gaya bahasa "Anak Jaksel" itu disampaikan dalam Debat Antar-cawapres Pilpres 2019, kira-kira akan bagaimana tanggapan dari cawapres Ma'ruf Amin? Â
Mungkin juru tafsirnya lewat pesan WA akan "menerjemahkan" kalimat itu terlebih dahulu begini: Â "Ujaran ('tempe setipis kartu ATM') itu persis kata per kata diucapkan Ibu Yuli dari Duren Sawit. Karena nilai dollar naik, maka harga impor kedelai juga naik, sehingga harga tempe naik juga. Â Masalahnya sesederhana itu. Â Jadi jangan terlalu didramatisirlah. Â Jangan disangkal pula, terima saja."Â
Baru setelah itu Ma'ruf Amin dengan senyum "air tenang"-nya akan menjawab: "Nah, di situ letak urgensi dan relevansi  ekonomi keumatan sebagai solusi ... (dan seterusnya)."
Mengapa seorang cawapres, apalagi capres, tidak pantas menggunakan gaya bahasa Inlish ala "Anak Jaksel" semacam itu? Â Alasannya sederhana. Â Karena capres dan cawapres itu adalah "calon representasi" Indonesia dan keindonesiaan. Â Maka siapapun capres/cawapres, kewajiban moralnya untuk meninggikan martabat "Nusa", "Bangsa", dan "Bahasa" Indonesia di hadapan dunia.
Khususnya Bahasa Indonesia, agar martabatnya tak direndahkan, maka seorang capres/cawapres wajib menggunakan "Bahasa Indonesia yang baik dan benar". Â Di situ letak pentingnya peran seorang "penata bahasa" di belakang seorang capres atau cawapres. Untuk menyempurnakan mutu Bahasa Indonesia seorang capres/cawapres.
Mungkin ada yang protes, "Lha, dulu Presiden Soekarno kalau pidato selalu pakai bahasa campuran Indonesia-Belanda-Inggris."  Atau, "Dulu Presiden SBY juga sering menggunakan bahasa campuran Indonesia-Inggris." Ya, betul.  Tapi menurut saya gaya bahasa Presiden Soekarno dan Presiden SBY pada waktu  itu "tidak pantas".  Apakah generasi sekarang masih mau mencontoh sesuatu yang tidak pantas?Â