Disebut going native apabila "orang luar" itu karena keterlibatan yang terlalu jauh dan mendalam (disebut over-rapport) malah mengidentifikasi dirinya sebagai "orang dalam" atau "salah seorang dari warga komunitas", dan lupa status dan perannya sebagai "orang luar" yang mengamati, atau sedang menggali informasi.
Akibatnya, ketika "orang luar" yang telah going native menjadi "orang dalam" itu berbicara kepada khalayak, maka dia berbicara secara subyektif sebagai "orang dalam" dengan emosi dan bahasa "orang dalam" juga.
Padahal, sebagai "orang luar", seharusnya dia bicara obyektif (sebagai hasil inter-subyektivitas), mengungkap fakta dengan bahasa yang "logis", bukan yang "hiperbolis".
Kebalikan going native adalah entnosentrisme, menilai sesuatu menurut acuan nilai, sudut pandang, dan pengalaman sendiri atau kelompok (primordial) sendiri.
Ini terjadi karena masalah under-rapport, sangat kurang terlibat pada persoalan yang diamati atau dikomentarinya.
Misalnya, ketika Jokowi memilih Maruf Amin sebagai cawapres, sejumlah orang (oposan) langsung bilang, "Ulama mana ngerti ekonomi".
Ini etnosentris, karena menurut sudut pandangnya ulama itu ya ngurusin soal surgawi.
Nah, agaknya masalah going native akibat over-rapport tadilah yang menimpa Sandiaga.
Jika disimak pemberitaan di ragam media, juga foto-fotonya, maka ada indikasi Sandiaga terjerumus ke dalam masalah going native di kalangan emak-emak.
Sandiaga terindikasi sangat menikmati berada di dalam kerubutan emak-emak yang menceritakan keluh-kesahnya sekaligus riuh minta selfie dan wefie.Â
Ada lelaki milenial ganteng masuk ke tengah kumpulan emak-emak, sudah pasti itu semacam "rezeki" yang pantang untuk ditolak. Menjadi kesempatan bagi emak-emak untuk menumpahkah keluh-kesahnya yang mungkin gak pernah dipedulikan suaminya.