Kalau Lucas Enembe mendukung Prabowo, sesuai "haluan" Partai Demokrat, dipastikan konstituen Partai Demokrat akan tergerus di Papua, sehingga akan merugikan calon-calon legislatif partai itu di sana kelak. Â Nah, itu namanya, berpikir untuk mengamankan "nafkah" di masa depan.
Itu pula sebabnya Partai Demokrat kemudian membolehkan sejumlah kadernya untuk mendukung pasangan Jokowi-MA. Â Sebut misalnya Gubernur banten, Wahidin dan mantan Wagub Jabar, Deddy Mizwar. Â Dengan kata lain, Partai Demokrat dengan menjalankan pola "mekanisme bertahan" di kancah politik.
Targetnya jelas. Â Mengamankan peluang-peluang politik di masa depan, siapapun pasangan capres-cawapres yang tampil sebagai pemenang. Â Itu sudah menjadi karakter partai itu: ogah menjadi oponen murni, ogah juga menjadi proponen murni. Â
Peluang politik yang diperjuangkan juga jelas yaitu posisi politik bagi kader mudanya yang sedang dipromosikan: Â Agus Harimurti Yudhonono (AHY). Siapapun pemenang kontestasi Pilpres 2019, Â Partai Demokrat bisa memperjiangkan satu posisi politis sebagai "The President Man" bagi AHY. Â Itu mutlak diperlukan sebagai batu lompatan dalam karir politiknya, setelah gagagl dalam upaya "leapfrogging" menjadi Gubernur Jakarta ataupun Wapres RI.
***
Sejatinya, "mekanisme bertahan" Â itu diterapkan oleh individu atau institusi (organisasi) yang sedang mengalami krisis sebagai bentuk strategi survival. Â Itu adalah strategi "Si Lemah", "Si Miskin", "Si Gurem", atau "orang kecil" yang mengalami krisis eksistensi. Â
Misalnya, pada contoh buruh tani tadi, dia adalah "orang kecil", tepatnya orang miskin yang harus melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensi ekonomi keluarganya. Â
Ada konsep sosiologi-ekonomi yang tepat untuk mengambarkan hal itu yaitu "ekonomi bazar", atau ekonomi gurem. Â Mekanisme bertahan bisa terlihat dengan jelas pada pelaku ekonomi bazar itu.
Ambil pedagang asongan atau lapak kaki lima sebagai contoh. Â Perhatikan barang jajaannya. Â Banyak jenisnya, kecil nilai ekonominya, karena modalnya memang kecil. Â Ada permen, tissu, rokok, obat flu, air mineral, kue kering, peniti, cotton bud, tusuk gigi, Â dan lain-lain. Â Pendeknya, pedagang asongan itu seperti "toserba mikro" dalam gendongan.
Mengapa begitu banyak ragam mata dagangannya? Â Itu namanya manajemen risiko. Â Untuk memastikan bahwa dari sekian banyak benda kebutuhan sehari-hari itu, ada yang laku terjual pada hari itu, sehingga makan untuk hari itu aman. Â Kalau dia hanya jual obat flu, misalnya, Â belum tentu dia bertemu dengan orang flu yang ingin beli obat murah hari itu.
Nah, sekarang coba pinjam konsep "ekonomi bazar" itu ke dunia politik. Â Ketemulah konsep "politik bazar", untuk menjelaskan perilaku politik politisi atau partai politik yang sejajar dengan perilaku ekonomi pedagang gurem tadi. Â Jika sebuah partai menjalankan strategi "politik bazar", berarti partai itu memang "gurem" atau sedang mengalami proses "penggureman". Â Gurem dalam arti pengaruh politiknya relatif lemah atau melemah.