Baru siang ini saya sempat membaca artikel bagus yang ditulis rekan muda S. Aji yang, saya pikir, sangat kreatif karena rangsang keheningan alami di pedalaman Kalimantan Tengah sana.
Artikel yang saya maksud adalah "Peter Berger dan Sosiologi Penderitaan yang Menyelamatkan" (kompasiana.com, 29 Agustus 2018).
Itu artikel obituari untuk mendiang Peter Berger, sosiolog kelas dunia yang wafat 27 Juni 2017, kurang lebih setahun lalu. Â Saya sendiri, beda dari Mas Aji, bukanlah seorang Bergerian. Walaupun membaca karya-karya besarnya. Â
Kendati begitu, saya tetap ikut berduka, karena kehilangan seorang sosiolog terkemuka, yang telah menjadi inspirasi bagi sejumlah sosiolog muda, termasuk Mas Aji tentu saja.
Masalahnya, tidak banyak orang sudi menjadi sosiolog di era milenial yang serba digital ini. Â Orang-orang muda sekarang lebih suka membuka bisnis on-line, start-up, youtuber, dan lain-lain bentuk ekonomi kreatif yang sepertinya "ada saja yang baru" tiap hari.
Memang benar ada pertanyaan klasik "Sosiolog bisa jadi apa?", dan dijawab "Bisa jadi apa saja!". Â Artinya, tidak jelas mau jadi apa, karena tidak spesifik. Seperti misalnya, kalau Sarjana Hukum, bisa jadi pengacara kondang yang naik supercar dan berdandan senilai ratusan juta melekat di badan.
Maka kita memang harus berterimakasih karena masih ada "anak muda gila" seperti Mas Aji yang masih bersemangat menjadi sosiolog. Â Masuk hutan pula!Â
Orang sekolah ke kota supaya bisa menjadi orang kota. Â Tapi Mas Aji sekolah ke kota supaya bisa menjadi orang udik, orang pedalaman, di tanah perawan Borneo sana.
Ini bukan tentang Mas Aji sesungguhnya. Â Melainkan tentang "Aji-Aji" yang masih mau menjadi sosiolog di era serba teknis ekonomis seperti sekarang ini. Â
Untuk apa menjadi sosiolog?  Ini pertanyaan mirip dengan "Untuk apa menjadi vulkanolog?"  Dua-duanya bernasib sama, tak bisa meramal pasti "kapan ledakan sosial akan  terjadi" (sosiolog) atau "kapan letusan gunung berapi terjadi" (vulkanolog).  Yang bisa mereka katakan adalah sejumlah gejala (sosiologis/geologis) yang menunjuk pada (akan terjadinya) suatu peristiwa "ledakan/letusan".
Bandingkanlah dengan seorang ekonom yang, dengan bermodalkan sebuah modeling (rumus ekonometrik), bisa meramalkan jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2050. Â Atau seorang manajer bisnis meramalkan laba perusahaannya dalam 10 tahun ke depan.