Menarik membaca rekan Kompasianer Irmina Gultom (IG), "Sulitnya Mengesampingkan Gengsi di Pernikahan Adat Batak" yang  tayang di Head Line Kompasiana (2/8/18).
Saya pikir rekan IG  tidak perlu khawatir ada yang tersinggung karena isi artikelnya. Sebab, pertama, pemanggungan gengsi dalam pesta nikah bukan  monopoli etnis Batak. Tapi juga etnis lain. Terutama untuk mereka yang tinggal di perkotaan, di tempat kapitalisme sudah mengambil alih pesta nikah sebagai lahan bisnis.
Kedua, isi tulisan IG adalah hadil pengamatan. Untuk sebagian besar saya duga pengalamannya sendiri. Artinya dia menjadi partisipan-pengamat. Jadi, kredibilitas isi artikelnya bisalah dipegang.
Jika saya menulis tanggapan singkat ini, bukan untuk membantah isinya. Tapi untuk menjelaskan konteks sosioligis pesta nikah adat Batak (Toba) itu. Dengan begitu, penilaian bisa lebih holistik.
Panggung "Dalihan na Tolu"
Pesta nikah adat Batak adalah panggung sosial. Di situ dipanggungkan relasi sosial antara tiga unsur pembentuk masyarakat Batak, yaitu "hula-hula" (pihak mempelai wanita), "boru" (pihak mempelai pria), dan "dongan tubu" (kerabat segaris darah). Ketiganya dikenal sebagai "Dalihan na Tolu" (Tiga Batu Tungku).
Norma adat yang mengatur hubungan antara tiga unsur itu adalah "Somba marhula-hula; Manat mardongan-tubu; Elek marboru". Artinya, "Hormat pada hula-hula; Baik pada dongan-tubu; Kasih pada boru."
Hubungan itulah sebenarnya yang dipanggungkan pada pesta adat nikah Batak. Nilai "sinamot" (mahar) dan skala pesta adalah ukuran perwujudan "somba marhula-hula" dari pihak "boru" terhadap "hula-hula". Â
Semakin besar nilai "sinamot" dan skala pesta, artinya semakin besar penghormatan "boru" pada "hula-hula"nya. Tentu nilai besar atau kecil dalam hal ini relatif. Â Tergantung pada status sosial "hula-hula" dan "boru" dalam masyarakat hukum adatnya.
Satu hal yang perlu diingat, nilai "sinamot" dan skala pesta adalah kesepakatan pihak calon "hula-hula" dan calon "boru", lengkap dengan "dongan tubu" dan "boru" dari kedua belah pihak. Â
Lazim ada upaya dari calon "hula-hula" untuk "mangelek" (membujuk) calon "boru" agar menaikkan nilai "sinamot" dan skala pesta. Â Pihak calon "boru" akan berupaya mohon pengertian, sampai akhirnya kedua pihak tiba pada kesepakatan. Â