Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sesat Pikir Menristekdikti Soal Radikalisme di Kampus

6 Juni 2018   17:04 Diperbarui: 6 Juni 2018   17:15 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto penangkapan terduga teroris di sebuah kampus di Riau baru-baru ini (Foto: tribunnews.com)

Kalau rencana Menristekdikti untuk mengawasi komunikasi elektronik civitas kampus dilaksanakan, maka terbayang oleh saya, dosen dan mahasiswa itu ibarat tikus-tikus yang dipasangi chip agar terbaca perilakunya sepanjang siang-malam berkeliaran di alamnya.(baca: "Pemerintah Awasi Nomor HP dan Akun Medsos Mahasiswa", republica.co.id, 4/6/18).

Mungkin terlalu vulgar mengibaratkan dosen dan mahasiswa itu sebagai tikus. Tapi dengan itu saya mau katakan betapa sadisnya, atau tepatnya tidak manusiawinya, sekaligus tidak edukatifnya, rencana Menristekdikti itu.

Bahwa gagasan itu datang dari Menristekdikti, yang bertanggungjawab atas kelangsungan sistem pendidikan tinggi, menjadi alasan sendiri untuk mempertanyakan "steering capacity" lembaga yang dipimpinnya.

Masalah utama dengan rencana yang diajukan Menristekdikti itu adalah indikasi sesat pikir (logical fallacy) yang terkandung di dalamnya.

Masalah merasuknya faham radikalisme ke lingkungan civitas kampus Tanah Air bukan masalah komunikasi elektronik yang bukan ranah wewenang Kemenristekdiknas. Andaikan dibuat aturan yang lebih ekstrim, misalnya dosen dan mahasiswa dilarang memiliki HP dan akun medsos, tidak ada jaminan bahwa faham radikalisme tidak merasuk ke civitas kampus. Bukankah kampus kita sudah dirasuki ragam varian faham radikalisme bahkan jauh sebelum era handphone dan medsos? Komunikasi elektronik cuma salah satu alat untuk akselerasi dan eskalasi perasukan faham radikalisme.

Jadi seperti tikus dipasangi chip tetap akan mencuri padi Pak Tani, demikian juga dosen dan mahasiswa yang berpredisposisi radikal akan menyebarkan dan mengintetnalisasi faham radikalisme di kampusnya. Sekalipun HP dan akun medsosnya dicatat dan disadap.

Jadi gagasan Menristekdikti mengawasi komunikasi elektronik civitas kampus itu lebih merupakan argumen sesat pikir "red herring", umpan untuk mengalihkan masalah. Supaya publik terpancing untuk sepakat bahwa komunikasi elektroniklah penyebab merasuknya faham radikalisme di kampus-kampus.

Padahal, sejatinya tidak demikian. Penyebabnya harus dicari pada kelemahan sistem pendidikan tinggi dan lemahnya manajemen perguruan tinggi kita. Menristekdikti tidak ingin publik menyorot soal ini, karena akan menjadi nilai negatif bagi lembaganya dan dirinya sendiri selaku pimpinan.

Tapi sebenarnya Menristekdikti tanpa sadar sudah mengakui bahwa sistem pendidikan tinggi kita bermasalah, sehibgga ada ide penataan kurikulum dari sains vs humaniora menjadi mayor sains-minor humaniora dan mayor humaniora-minor sains. Mungkin maksudnya untuk membentuk kelas sosial terdidik yang rasional sekaligus humanis di kampus. Dengan begitu civitas kampus resisten pada faham radikalisme.

Apakah benar begitu? Menurut saya tidak benar. Utak-atik kurikulum pendidikan tinggi tidak banyak gunanya untuk menangkal serbuan faham radikalisme ke dalam kampus. Tak lain karena dosen dan mahasiswa pada hakekatnya adalah kelompok "pembaharu", sehingga dalam dirinya sudah melekat faham radikalisme dalam arti positif. Dosen dan mahasiswa yang sejati adalah yang berwatak inovatif, dan ini adalah watak yang condong radikal. Bukankah setiap inovasi itu bersifat radikal, mengganti yang mapan?

Tapi sistem pendidikan tinggi kita tidak memberi ruang bagi, atau tepatnya memberangus, potensi radikalisme positif di lingkungan kampus. Sistem pendidikan tinggi kita adalah sebuah fabrikasi sumberdaya manusia yang didisain dan dioperasikan untuk menghasilkan sumberdaya manusia dengan kualifikasi seperti yang dimaui negara dan atau bisnis. Sumberdaya manusia dengan kualitas yang homogen.

Maka jangan heran kalau ada sesuatu faham radikalisme menyusup ke kampus langsung mendapat sambutan dari mahasiswa yang jenuh dengan proses fabrikasi atas diri mereka. Itu memang "mahasiswa banget". Menjadi masalah kemudian karena faham radikalisme yang merasuk itu dari jenis "negatif", dalam arti anti-Pancasila dan anti-NKRI. Tapi mengapa kemudian harus menyalahkan mahasiswa dan atau dosennya? Mengapa tidak merevolusi sistem pendidikan tinggi kita untuk menangkal perkembangan radikalisme negatif?

Maksud saya, mengapa Menristekdikti hanya sekafar mau utak-atik kurikulum? Mengapa tidak berpikir untuk mengganti sistem pendidikan tinggi berpola fabrikasi manusia itu, dengan suatu sistem baru yang memerdekakan dan memfasilitasi dosen dan mahasiswa untuk mengoptimalkan potensi radikalisme positif dalam diri mereka? Dengan cara itu niscaya civitas kampus itu telah membentengi diri mereka sendiri dari pengaruh faham-faham radikalisme negatif yang selalu datang menggoda.

Bagaimana caranya membangun sistem pendidikan tinggi yang memfasilitasi pertumbuhan bibit radikalisme positif mahasiswa, silahkan Pak Menristekdikti tanyakan kepada para staf ahlinya yang sudah pasti sangat mumpuni.

Jangan tanya saya, Felix Tani, petani mardijker!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun