"Media ajar terbaik dalam kelas adalah papan tulis," simpul Pak Andi Hakim Nasution (alm.), dalam sebuah kelas kecil "Filsafat Ilmu" tahun 2004.
Papan tulis yang dimaksud Pak Andi (begitu kami selalu menyapanya) adalah blackboard, papan tulis hitam. Tentu dengan kapur tulis (putih) sebagai pasangannya. Okelah, hitam atau hijau, sama saja, cuma beda warna.
Perlu diceritakan, pada tahun 2004 itu sudah digunakan juga papan tulis hijau (greenboard?), tetap dengan kapur tulis putih. Juga sudah digunakan whiteboard, dengan kelengkapan spidol whiteboard marker sebagai alat tulisnya.
Selain media ajar konvensional tadi, sudah lazim pula digunakan overhead projector (OHP), dengan kelengkapan lembaran plastik mika untuk ditulisi dan ditayangkan ke dinding warna cerah. Dan kalau tak salah ingat, LCD Projector juga sudah mulai digunakan.
Kembali ke "papan tulis (hitam)". Mengapa Pak Andi menyimpulkannya sebagai "media ajar terbaik"?Â
"Karena mengakrabkan guru dan murid," begitu alasan Pak Andi, kurang lebih.
"Keakraban guru dan murid", saya kira, itulah inti ekologi kelas atau belajar-mengajar yang sejati. Dan ekologi kelas semacam itu lebih mungkin diwujudkan dengan media "papan tulis".
Kok bisa? Saya perlu merujuk pada pengalaman pribadi untuk menjelaskannya. Semasa sekolah tingkat SD, SMP, sampai SMA dari pengujung 1960-an sampai 1970-an, sekolah saya masih mengandalkan papan tulis sebagai media ajar tunggal di kelas.
Sebelum guru masuk kelas, wajib hukumnya murid membersihkan papan tulis, menurut jadwal tugas yang telah disepakati. Ini poin pertama tentang keakraban guru dan murid. Murid membantu guru untuk mengajar mereka.
Saat pelajaran berlangsung, ketika papan tulis sudah penuh coretan, Pak Guru tinggal bertitah, "Poltak, hapus papan tulis!" Lalu Si Poltak dengan sukacita melaksanakan perintah Pak Guru.
Di lain waktu, saat Si Poltak ditanya Pak Guru tapi gagal menjawab benar, maka dia akan diganjar nasihat, "Poltak, makan kapur ini!"