Kedua, mengenakan kriteria "pembela agama Allah" Â itu hanya pada kubu GAK, dan menghindari penerapannya pada partai-partai lain tergolong sebagai manipulasi metodologis, atau ketidak-jujuran. Secara metodologis, untuk menguji alasan tersebut pertama di atas, Â harusnya kriteria itu diujikan juga pada partai-partai selain GAK. Tapi Amien Rais tidak melakukannya, dan hanya mengenakannya pada kubu GAK.
Ketiga, penyematan kriteria "pembela agama Allah" pada kubu GAK itu hanya didasarkan pada pengalaman Pilgub DKI Jakarta tahun 2017. Pilgub itu memang sarat isu "kepentingan keagamaan" dan GAK waktu itu mengklaim diri sebagai "pembela agama Allah". Ini cara  pengujian yang jauh dari sahih. Karena di perhelatan Pilkada lain, ada juga unsur GAK yang bersekutu dengan partai lain yang digolongkan "Partai Setan".  Jadi, pengenaan kriteria "pembela agama Allah" pada GAK tidak punya dasar empirik yang bisa dipertanggungjawabkan.
Bisalah disimpulkan, dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" itu  bukan tipe ideal Weberian yang punya dasar ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.  Dia lebih merupakan hasil "penilaian subyektif": "Kubuku pembela agama Allah, dan karena kamu bukan kubuku, maka kamu bukan kubu pembela agama Allah". Sesederhana itu.
Maka, dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" lebih tepat disebut fiksi ketimbang fakta sosial. Tapi juga fiksi yang buruk. Bukan karena saru seperti fiksinya Anny Arrow, tapi karena terindikasi menempatkan agama sebagai sekadar "moda produksi politik" dan umat sebagai "alat produksi politik". (Isu  ini akan saya bahas lain waktu).
Target politik dari ujaran dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" yang "hitam-putih"  semacam itu mudah ditebak. Harapannya, umat yang "takut dicap pendukung Partai Setan", karena "kemalasan  berpikir kritis",  akan tergiring memilih capres/cawapres serta caleg yang dimajukan oleh partai-partai yang diklaim sebagai "Partai Allah". Ini sangat buruk karena mengandung nilai intimidatif dan melecehkan akal sehat. Selain itu juga "murahan".
Tapi, pada akhirnya, semua terserah pada rakyat Indonesia yang katanya "sudah cerdas", atau sekurangnya "tidak bodoh". Apakah mau terus-terusan "malas berpikir kritis" sehingga hanya akan menjadi alat produksi bagi politisi yang sarat kepentingan diri?  Atau mau susah sedikit berpikir kritis sehingga terbebas dari  ujaran-ujaran fiktif yang buruk dan (bisa) menyesatkan?***
*)Terimakasih pada Mas Aji dan Mas Susy atas komentar mereka pada versi awal artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H