Tujuannya melebarkan jalan  bagi mobil-mobil yang lewat. Sekaligus memberi ruang parkir bagi mobil-mobil pengunjung kafe, restoran, dan butik yang menjamur di Jalan Suryo.
Rawan kesakitan? Ya, tentu saja. Akar pohon-pohon itu, tepat di bawah jalan aspal, sengsara setiap hari dilindas roda-roda mobil yang melintas.
Bayangkan lidah kaki kita, pakai sepatu lars, lalu bolak-balik ratusan kali dilindas roda sepeda setiap hari. Kira-kira bagaimana rasanya, ya. Ya, seperti yang Anda rasakan, kira-kira begitu pula yang dirasakan pohon-pohon itu.
Akarnya  terhimpit padat di bawah aspal, sehingga tidak bisa berkembang optimal. Pasokan air terbatas pula, karena jalan beraspal dan trotoar beton telah membatasi resapan air hujan, walau jalanan kadang tampak seperti sungai saat hujan lebat.
Akar tak berkembang optimal, maka daya serapnya terhadap hara juga rendah, sehingga pohon lama kelamaan kurang gizi. Lalu jatuh sakit, meranggas, Â akhirnya mati.
Siapa yang menangisi kematian sebatang mahoni tua di jalanan Jakarta? Tidak ada. Yang ada justru  orang-orang yang tertawa lebar, karena mahoni mati di  Jakarta adalah rejeki. Batangnya untuk bahan bangunan atau mebel, rantingnya untuk kayu bakar di pabrik tahu. Betapa sadisnya manusia Jakarta.
Bukan hanya sakit fisik atau fisiologis. Tapi juga psikologis. Jangan dikira pohon-pohon mahoni itu tidak stres. Jika daun-daunnya menjarang, itu pertanda stres, seperti rambut rontok di kepala orang stres.
Misalkan ada ahli psikologi tumbuhan mengukur tingkat stres mahoni-mahoni Jalan Suryo, saya yakin semua pohon di sana akan direkomendasikan masuk "rumah sakit jiwa tumbuhan". Â
Saya pikir pemeriksaan tingkat stres pohon itu perlu segera dilakukan. Sebelum batang tubuhnya merapuh dicekam stres. Lalu tumbang menimpa mobil "orang baik-baik" yang sedang melintas.