"Negeri di Atas Awan boleh dilewatkan, tapi tidak dengan makam bayi di Desa Kambira," kata saya pada isteri dan kedua anak kami.
"Negeri di Atas Awan" yang saya maksud adalah Kampung Lolai, sekitar 1,300 mdpl, di Toraja Utara. Tak terlalu jauh sebenarnya dari kota Makale, tempat kami menginap.
Tapi hari itu, 27 Desember 2017, adalah hari terakhir kami berkunjung ke Tana Toraja. Hanya sepagi hari pula, sebab siangnya kami harus berangkat ke "Kotanya Habibie", Parepare.
Maka kunjungan ke makam bayi di Kambira, Sangalle menjadi sebuah pilihan "harus". Sebab Negeri di Atas Awan bisa juga ditemukan di Jawa (Dieng) dan Lombok (Sembalun). Tapi makam khusus bayi hanya ada di Toraja, salah satunya di Kambira itu.
"Saya belum tahu lokasinya, Pak," jawab Daeng Sahar yang selalu gembira mengantar kami dengan mobilnya ke mana saja. Maka jadilah kami mengandalkan google map sebagai pemandu arah.
"Itu dia," seru isteri saya, setelah sekitar setengah jam perjalanan dari Makale. Telunjuknya diarahkan pada sebuah plang kecil bertuliskan "Baby Graves Kambira" di pojok simpang sebelah kanan jalan utama.
Kami hanya butuh beberapa menit untuk tiba di gerbang jalan masuk ke  makam bayi Kambira. Setelah membayar tiket Rp 10,000 per kepala, kami menuruni anak tangga beton, dan sejenak kemudian sudah mencapai lokasi makam di tengah hutan bambu.
"Mana makam bayinya, Pak?" tanya anak bungsu kami bingung. "Itu dia!" seruku sambil menunjuk sebatang pohon besar yang berdiri tegak di tengah pagar besi yang mengelilinginya. "Pohon?" Anak kami nengerinyitkan dahi, heran, tapi juga takjub.
Ya, orang Toraja, khususnya  pengikut religi asli Aluk Todolo, kepercayaan kepada leluhur, memiliki tradisi pemakaman bayi di dalam batang pohon "Tarra" yang masih hidup. Dalam istilah setempat, kuburan bayi semacam itu disebut "Passiliran". Diameter batang pohon Tarra yang layak dijadikan Passiliran minimal 80 cm.
Secara teknis, pemakaman dilakukan dengan membuat lubang seukuran jenazah bayi duduk pada batang pohon, menghadap ke arah rumah mendiang. Tubuh polos bayi kemudian dimasukan ke dalam lubang tersebut, lalu ditutup dengan ijuk pohon enau.
Posisi ketinggian  lubang makam menandakan posisi sosial keluarga mendiang bayi. Paling atas adalah makam bayi dari lapis sosial atas, bangsawan setempat. Paling bawah adalah makam bayi dari lapis sosial bawah, warga biasa.