Bayi yang boleh dimakamkan dalam batang pohon Tarra adalah bayi yang memenhi kriteria "suci" menurut tafsir budaya setempat. "Bayi suci" adalah yang berumur di bawah enam bulan, Â belum tumbuh gigi susu, masih menyusui, dan belum bisa berjalan.
Lalu mengapa dipilih pohon Tarra? Karena pohon ini, menurut tafsir religi asli setempat, diyakini memiliki spirit "ibu". Pohon ini memiliki getah warna putih yang diyakini sebagai pengganti air susu ibu untuk mendiang bayi.
Memasukkan jenazah bayi ke dalam batang pohon diyakini sebagai pengembalian bayi itu ke dalam rahim bundanya. Tindakan itu diyakini akan menyelamatkan nyawa adiknya, anak yang lahir sesudahnya. Karena ini keyakinan, tentu tak relevan bertanya apakah benar adiknya lahir selamat dan berumur panjang.
"Apakah lubang-lubang makam bayi di batang Tarra tak membunuh pohon itu?" tanya anak bungsu kami.  "Tidak," jawabku. Sebab saya tahu, setelah belasan tahun, lubang itu menutup kembali  memeluk jenazah bayi sebagai bagian dari dirinya. Jiwa bayi kembali ke ibu kandungnya, sedang tubuhnya menyatu dengan bunda alamnya.
"Tapi pohon Tarra ini sudah mati," tukas anak sulung kami. Saya terperangah, baru sadar bahwa pohon Tarra di Kambira itu sudah mati. Apa penyebabnya? Terpaksa dengan cepat saya konsultasi ke Mbah Google.
"Ooo...itu karena tersambar petir kira-kira 14 tahun lalu," jawab saya kemudian, setelah cari sana-sini di google. Tersambar petir? Kalau benar begitu, bisa dibayangkan betapa tingginya pohon "makam bayi" Kambira itu semasa hidupnya.
Sayang, karena sudah mati, pohon makam bayi itu kini tidak dapat lagi menerima jenazah bayi-bayi suci di dalam rahimnya. Pohon Tarra mati tak bisa menyusui mendiang bayi, untuk menjamin jiwa-jiwa suci tetap hidup dan kembali ke rahim ibu kandungnya.
Tapi ajaibnya, pohon makam bayi yang telah mati itu, kini mampu memberi nafkah bagi warga Kambira, pada fungsinya sebagai obyek wisata terunik sedunia. Karena seorang pelancong tak sah bilang sudah dari Toraja, tapi tak mampir ke pohon makam bayi di Kambira.
"Sungguh dahsyat energi religi asli Aluk Todolo, sungguh hebat energi budaya Passiliran Toraja," renungku takjub dalam mobil yang meluncur di antara bukit-bukit batu menuju Parepare.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H