Diskresi secara sederhana diartikan sebagai "kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi." (KBBI).
Hak diskresi itu lazim diberikan  pada pejabat pemerintah untuk mengatasi suatu masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Tentu ada syarat legalnya yaitu jika  peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan,  tidak mengatur,  tidak lengkap,  tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan (Ps 1 Ay 9 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Maka sangat mengherankan ketika Pak Sandi, Wagub Jakarta bilang akan menggunakan diskresinya untuk menempatkan pedagang kaki lima (PKL) di trotoar Melawai, Jakarta Selatan. Sebab tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberi pilihan seperti itu. Sudah ada peraturan daerah (No. 8/2007) yang jelas dan lengkap melarang PKL berjualan di trotoar.
Bagusnya niat menggunakan diskresi itu diurungkan, walau dengan alasan yang tak relevan. Katanya, para PKL keburu ketakutan karena terlalu ramai sorotan. Lho, penempatan PKL di badan jalan Jatibaru Tanah Abang, dan pemberian ruang operasi becak, kurang ramai apa sorotannya. Tetap saja jalan terus.
Tapi tak urung ujaran Pak Sandi soal diskresi ini menimbulkan dugaan bahwa langkah-langkah pemerintahan Pak Anies terkait pengelolaan potensi PKL ini sebenarnya tidak berangkat dari sebuah kebijakan pembangunan yang bersifat sistematik dan holistik. Jelasnya, bukan berdasar amanah konstitusi, melainkan desakan konstituen, terkait janji-janji kampanye Pilgub yang lalu.
Maka sejumlah langkah penataan sektor informal misalnya terindikasi menabrak konstitusi, dengan alasan "pemihakan pada golongan lemah". Alasan "pemihakan" itu kemudian menjadi dasar vagi Pak Anies untuk mengambil langkah berwatak "diskresi". Seperti penempatan PKL di badan jalan Jatibaru, pemberian ruang gerak bagi becak, dan (rencana) penempatan PKL di trotoar Sudirman-Thamrin.
Pak Anies tidak mengatakan itu diskresi, tetapi jelas bisa ditrafsir sebagai "tindakan berwatak diskresi". Â Sebab jika terang-terangan menyebutnya diskresi, maka dengan mudah orang akan membantahnya. Sebab langkah-langkah itu jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak sesuai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), menimbulkan konflik antar kelompok, dan obyektivitasnya diragukan.
Saya khawatir langkah-langkah berwatak diskresi semacam itu akan menjadi pola bagi pemerintahan Pak Anies dalam membangun Jakarta. Bukan jarena tuntutan konstitusi, tapi tekanan konstituen yang telah mendukung dan memilihnya. Jika ini yang terjadi, maka proses pembangunan Jakarta tidak lagi obyektif. Tetapi menjadi subyektif, memihak kepentingan kelompok tertentu. Dengan kata lain, menjadi diskriminatif.
Jika pembangunan Jakarta menjadi diskriminatif, maka pantas dipertanyakan itikad Pak Anies untuk "menyatukan" Jakarta. Sebab dulu, waktu kampanye, salah satu kritiknya pada Pak Ahok adalah soal "pengkotak-kotakan masyarakat". Janganlah sampai termakan kritik sendiri.
Diskresi memang sebuah langkah bijak, tapi ia bukanlah kebijakan pembangunan. Ia adalah langkah darurat yang bersifat sesaat. Sebab bijaklah jika seorang Polantas mengawal kendaraan pribadi yang membawa perempuan hamil status bukaan lima menerobos jalur busway dan lampu merah. Tetapi jelas tidak bijak menempatkan PKL di tengah jalan.