Dengan meletakkan batu pertama pembangunan rumah Down Payment (DP) 0% di kawasan Klapa Village, Pondok Kelapa hari Kamis 18/01/18 yang lalu, maka  implisit Pak Pak Anies  telah mengakui sekaligus menjalankan gagasan Pak Ahok.
Menurut Pak Ahok  rumah susun adalah solusi paling realistis untuk penyediaan hunian bagi warga lapis bawah Jakarta. Bukan rumah tapak seperti yang pernah digagas Pak Anies.
Tapi, untuk tetap bersikap adil dan supportif, baiklah rumah susun DP 0% yang akan dibangun di Pondok Kelapa itu kita sebut "rumah tumpuk". Kata lain untuk "rumah tapak yang ditumpuk  ke atas".
Jadi, lupakan soal janji "rumah tapak" yang mustahil di Jakarta yang super padat. Â Karena penekanan janji Pak Anies itu sejatinya adalah DP 0%.
Lupakan juga soal kemungkinan logis DP itu bisa 0% karena  dialokasikan pada jaminan berupa saldo minimal tabungan Rp 7 juta.  Atau mungkin dialokasikan pada cicilan sebesar sekitar Rp 2 juta per bulan.
Karena semangat gagasan DP 0% itu adalah solusi atas kendala DP bagi keluarga lapis bawah Jakarta. Tepatnya keluarga dengan total penghasilan  tak lebih dari Rp 7 juta/bulan.
Pertanyaannya sekarang, benarkah setiap keluarga berpenghasilan maksimal Rp 7 juta/bulan berpeluang mendapatkan rumah DP 0% di Pondok Kelapa itu? Baik itu Tipe 36 (Rp 320 juta) maupun Tipe 21 (Rp 185 juta).
Untuk menjawabnya, harus dilihat faktor-faktor pembatasnya.
Pembatas pertama, Â faktor angka cicilan kredit rumah, diperkirakan Rp 2 juta/bulan. Aturannya nilai cicilan maksimal 30% dari total pendapatan per bulan. Berarti pendapatan minimal Rp 6.67 juta per bulan.
Artinya keluarga yang berpeluang membeli rumah DP 0% Pondok Kelapa itu adalah yang berpendapatan Rp 6.67-7.00 juta/bulan.
Selang kelayakan itu  terlalu sempit,  tak memihak warga lapis bawah (berpenghasilan rendah). Maka mungkin Pak Anies akan menurunkan angkanya ke Rp 1.5 juta/bulan. Sehingga selang kelayakan pendapatan  lebih lebar yaitu Rp 5.0-7.0 juta/bulan.