Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jebakan Antitesis Ahok untuk Pak Anies Baswedan?

6 November 2017   08:58 Diperbarui: 6 November 2017   14:26 11018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Anies Baswedan, Gubernur Jakarta kini, adalah anti-tesis Pak Ahok (dan Pak Djarot), Gubernur sebelumnya. Itu jelas terbaca dari janji-janjinya untuk Jakarta, sedikitnya 24 janji,  yang sekarang terus-menerus ditagih pelunasannya. Semua janji itu secara diametral bertentangan dengan gagasan-gagasan Ahok tentang pembangunan Jakarta.  Itu sebabnya Pak Anies saya sebut sebagai anti-tesis Pak Ahok.

Implikasi anti-tesis itu, saat Pak Anies resmi memimpin Jakarta, maka semua kebijakan dan program pembangunan yang ditempuhnya haruslah  bersifat de-ahokisasi. Dalam pengertian menihilkan kebijakan, program, dan hasil kerja Pak Ahok sebelumnya. Sebab sebagai antitesis, tidak logis bila Pak Anies melanjutkan jejak kerja Ahok begitu saja.

Karena konteks deahokisasi itu, maka timbul sejumlah hal yang terkesan "nganeh-nganehi" pada langkah-langkah Pak Anies dalam 3 minggu pertama memimpin Jakarta.

Aksi "nganehi" yang sedang viral adalah pernyataannya tentang "rumah lapis", dalam rangka program Rumah DP 0%. Ramai diperbincangkan, rumah lapis itu sama saja sebenarnya dengan rumah susun yang digagas dan sudah dijalankan Pak Ahok dulu. Pak Anies pakai istilah rumah lapis supaya terlihat beda saja, agar terkesan antitesis Ahok.

Para pengeritik Pak Anies keliru, sebab Pak Anies tak salah. Terminologi rumah lapis memang beda aras dengan rumah susun. Rumah lapis pasti bersusun vertikal, ke atas. Sedangkan rumah susun, bisa bersusun vertikal, bisa pula bersusun horizontal alias rumah deret (berderet-deret). Jadi, rumah lapis pasti rumah susun, tapi rumah susun belum tentu rumah lapis. 

Tentu sejatinya tidak ada perbedaan esensial antara rumah lapis dan rumah susun, tapi jelas  ada perbedaan sensasional yang bisa dilihat, setidaknya oleh "followers"-nya (boleh dijuluki JKT 58?).

Jika diperhatikan, dalam 3 minggu ini, sedikitnya ada tiga pola langkah deahokisasi, atau mungkin bisa juga dibilang  aniesisasi, yang dilakukan oleh Pak Anies.

Pertama,  permainan semantik. Contoh terpopuler adalah konsep "rumah lapis"  untuk meminggirkan konsep "rumah susun" dan "kampung deret" yang berbau Ahok. Contoh lain adalah penggunaan istilah "menutup" untuk menyamarkan fakta "belum memperpanjang masa ijin" dalam kasus Alexis.

Kedua, pengungkapan cacat. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa program Ahok mengandung kesalahan, cacat serius, sehingga tak layak dibanggakan.  Contoh terbaru adalah pernyataan Pak Anies bahwa 10 proyek infrastruktur jalan di Jakarta tidak dilengkapi Amdal Lalin, sehingga kemacetan parah yang ditimbulkannya tidak bisa dikelola secara memadai. Mungkin benar tidak ada Amdal Lalin, mungkin juga ada tapi tidak dipatuhi karena biayanya akan terlalu tinggi. 

Tapi mengungkap cacat semacam itu tidakkah esensial. Sebab yang diperlukan adalah percepatan proyek dan inovasi untuk lebih mengurangi kemacetan. Tapi hal ini tidak jelas diungkapkan. Justru yang diangkat ke ruang publik adalah soal tidak adanya Amdal Lalin.

Ketiga, pengalihan isu. Contoh paling gamblang adalah soal Tanah Abang. Disebutkan (oleh Pak Sandi) kemacetan terjadi karena perbaikan trotoar. Implisit bukan karena kehadiran pedagang kakilima di trotoar.  Ini berarti gagasan trotoar bebas pedagang yang dijalankan Pak Ahok ditolak, dengan cara mengalihkan isu pada masalah perbaikan trotoar, bukan pedagang yang mengokupasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun