Tak seperti biasanya, Jumat 1 Agustus 2017 minggu lalu, bertepatan Hari Raya Idul Adha, pekuburan Kampung Kandang, Jakarta Selatan ramai oleh peziarah. Terutama di sektor pekuburan Unit Islam. Terlihat kelompok-kelompok keluarga mengitari makam anggota kerabatnya. Sambil mendaraskan doa-doa.
Tapi itu bukanlah hal baru. Menjelang bulan Ramadan dan saat Idul Fitri yang lalu, kejadian serupa juga teramati.
Kejadian serupa juga teramati di sektor Unit Kristen. Khususnya saat Hari Raya Paskah dan Hari Raya Natal. Â Keluarga-keluarga datang dan berdoa di pusara mendiang kerabatnya.
Kejadian semacam itu lazim disebut "tradisi", pola kejadian berulang yang diturunkan dari satu ke lain generasi. Tradisi semacam itu lalu  diterima sebagai "budaya", sesuatu yang dirasa tak perlu dipertanyakan lagi.
Tapi budaya adalah sistem pemaknaan, merujuk Clifford Geertz. Maka lumrah ada tafsir atasnya. Untuk memahami apa yang dinyatakan dengan suatu kejadian berulang atau gejala sosial-budaya.
Pertanyaannya, jika ziarah kubur adalah peristiwa atau gejala sosial-budaya, maka makna apa yang dipanggungkan di situ? Atau, melalui ziarah kubur, apa sejatinya yang hendak dinyatakan para peziarah?
Sebagai gejala sosial-budaya, ziarah kubur seperti teramati di Kampung Kandang adalah  gejala ritus kolektif di dua alam. Pertama, ritus kolektif di alam fana, antara anggota keluarga yang masih hidup di dunia. Kedua, ritus kolektif di alam baka, antara anggota keluarga yang masih hidup dengan arwah mendiang yang "mengada" di alam baka.
Ritus kolektif alam fana memiliki fungsi rekonsiliasi sosial antara anggota keluarga yang masih hidup. Fokus ziarah adalah mengenang yang baik dari mendiang. Kebaikan mendiang itu menjadi simpul penyatu anggota keluarga yang berziarah.
Dengan simpul kebaikan mendiang itu, yang menjadi pengalaman peziarah di masa lalu, maka ziarah menjadi peristiwa rekonsiliasi antara anggota keluarga. Mengangkat yang baik ke atas, membenamkan yang buruk ke bawah.
Ziarah dengan demikian,  sejatinya bukan peristiwa duka-cita, melainkan  suka-cita. Ada makna perdamaian di situ, antara anggota keluarga atau kerabat yang bertemu di satu titik. Saling mengubur perselisihan, di atas dasar pengalaman kebaikan bersama mendiang di masa lalu.
Beda dengan ritus kolektif alam fana yang membumi, ritus kolektif alam baka bersifat transenden. Orientasi ritus kolektif alam baka adalah harapan kebaikan atau kedamaian kelak di akhirat. Â Yang dibayangkan adalah sesuatu yang transenden, sebuah "surga" menurut pemaknaan teologis.
Doa keluarga di makam lazimnya  bertujuan ganda. Pertama, mohon agar arwah mendiang diterima dalam istirahat damai di surgaNya. Kedua, mohon agar anggota keluarga yang ditinggal dikuatkan melangkah di jalanNya, agar kelak arwahnya boleh bersatu dengan mendiang di surgaNya.
Jadi yang dibayangkan saat ziarah, selain kebaikan di masa lalu, juga  persatuan dalam damai kelak di surgaNya. Ini berarti peziarah berdamai dengan kematian, yang pasti menghampirinya juga kelak.
Ziarah kubur dengan demikian sebenarnya melipat masa lalu dan masa depan yang baik, yang damai, pada satu titik waktu kini. Dengan begitu, ziarah sebagai ritus kolektif, bermakna rekonsiliasi dengan masa lalu dan masa datang.
Intinya kematian adalah simpul kebaikan, yang mempertalikan manusia dalam kedamaian, baik dalam kenangan akan masa lalu, maupun dalam impian akan masa datang. Semua itu teralami dalam satu titik ruang dan waktu, di sini dan kini, di suatu ziarah makam.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H