Di pasar tradisional juga bisa disaksikan penetrasi kota ke desa di bidang mode busana. Berkeliling los-los pakaian bisa dilihat produk-produk busana bermodel "kota" dipajang mencolok. Misalnya pakaian anak dengan motif karakter anime terbaru, dan pakaian remaja dengan model yang biasa dikenakan artis-artis ibukota.
Sejatinya, di pasar tradisional kita bisa saksikan ko-eksistensi  dua cara produksi yaitu kapitalisme industri kota dan komersialisme pertanian desa. Saya senang menyaksikan bagaimana liatnya komersialisme pertanian desa. Sehingga kapitalisme industri kota tidak pernah berhasil melindas habis komersialisme pertanian. Keranjang rotan, keranjang bambu, tikar pandan, tikar mendong, tikar rotan, dan kue-kue kampung (cenil, tiwul, gethuk, lupis, onde-onde, dll.) masih bertahan di pasar-pasar tradisional.  Bahkan kini mulai bersinar lagi, seiring dengan merebaknya gerakan "go green" atau "back to nature".
Singkatnya, berkeliling pasar tradisional memberi kita pengetahuan tentang sejarah ekonomi setempat, dinamika ekonomi lokal, interaksi kapitalisme dengan komersialisme, dan relung-relung survival ekonomi rakyat. Harapan tambahan pengetahuan tentang berbagai aspek itu membuat saya tidak bosan-bosannya mengunjungi pasar tradisional, setiap kali ada kesempatan.
Apa yang sudah saya sampaikan sebenarnya adalah pengamatan pasar sebagai salah satu metode penelitian kualitatif untuk studi sejarah dan dinamika ekonomi lokal. Mengunjungi pasar tradisional adalah belajar ekonomi lokal. Mudah-mudahan artikel ini tidak menggurui.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H