Semua pelaku tindakan di atas tidak pernah disebut warga abnormal. Warga autis, sejauh informasi yang ada, tidak pernah melakukan tindakan-tindakan tersebut, tapi mereka dicap abnormal. Hanya karena mereka menampilkan gestur yang beda, atau tak berkomunikasi dengan cara yang lazim menurut pandangan orang kebanyakan (normal).
Sejatinya, secara sosiologis, warga autis itu adalah kelompok sosial minoritas yang beda dari kelompok mayoritas. Mereka bukan warga "abnormal", melainkan warga dengan tipe normalitas yang beda dari tipe yang umum. Bukannya warga autis tidak busa berkomunikasi. Mereka bisa, tapi bukan dengan cara yang umum dilakukan orang. Ketika mereka dipaksa untuk berkomunikasi yang "umum", mainstream, maka mereka menjadi kagok, lalu dicap "abnormal".
Jawabnya, karena ada nilai yang hilang dalam interaksi antara mayoritas dan minoritas. Itulah solidaritas sosial atau, secara lebih sempit, toleransi sosial. Mayoritas tak mengenal istilah "kalah", tapi istilah "menang". Jika tidak bisa menang mutu, ya, harus menang jumlah. Pokoknya harus menang, harus dominan.
Menolak warga autis sebagai normalitas yang beda, sejatinya akan merugikan masyarakat. Jumlah warga autis meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia tahun 2000 diperkirakan rasio jumlah anak autis adalah 1 per 500 anak. Tahun 2915 rasionya meningkat menjadi 1 per 300 anak, dan tahun 2015 menjadi 1 per 250 anak. Total jumlah anak autis Indonesia tahun 2015 diperkirakan sekitar 12.800 orang, dari total 134.000 orang warga Spektrum Autis (klinikautis.com). Jika sub populasi warga autis yang cenderung meningkat itu tetap dilabeli "abnormal", berarti sejak dini mereka telah dipersepsikan sebagai potensi beban sosial masyarakat. Maka mereka dipandang "rendah", tak berguna, mengganggu, dan lain sebagainya.
Padahal, jika warga autis itu diterima sebagai kelompok sosial dengan tipe normalitas yang beda, kontribusinya terhadap perkembangan dan kemajuan sosial bisa sangat signifikan. Tidak sedikit dari mereka memiliki kecerdasan dan keahlian khusus yang luar biasa. Terbukti sejumlah tokoh dunia yang ikut menentukan jalannya sejarah adalah warga teridentifikasi autis. Sebut misalnya nama-nama Isacc Newton, Albert Einstein, Charles Darwin, W. A. Mozart, Thomas Jefferson, Michaelangelo, dan Nikolas Tesla. Adakah yang menyangkal kontribusi besar mereka terhadap perkembangan peradaban dunia?
Maka sudah saatnya membangun pandangan baru tentang warga autis, bukan lagi warga abnormal (difabel, berkebutuhan khusus), melainkan warga dengan tipe normalitas yang beda. Penerimaan terhadap tipe normalitas sosial yang beda ini niscaya akan membuka selubung potensi besar warga autis untuk mendukung pembangunan dan kemajuan bangsa. Sebagaimana sudah terbukti dari sejarah dunia.
Mari berhenti memandang rendah warga autis dengan membuang segala label negatif tentang mereka. Mereka adalah warga dengan normalitas sosial yang beda, dengan hak dan kewajiban yang sama dengan umumnya warga masyarakat Indonesia.
Akhirnya, sebagai seorang yang menilai diri menjadi bagian dari warga autis, saya perlu tegaskan, "Saya autis, saya Indonesia, saya Pancasila!" Warga autis tidak lebih rendah dari orang-orang rasis, intoleran, koruptor, dan anti Pancasila yang menganggap diri mereka "terhormat".***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H