Mengatakan Kaesang Pangarep menista orang desa dengan ujaran "ndeso", sama dengan mengatakan bumi itu datar.
Implikasinya, jika Kaesang terbukti menista dengan ujaran itu, maka otomatis terbuktilah bumi itu datar adanya.
Apakah pernyataan saya berlebihan? Sama sekali tidak. Sebab modusnya serupa, yaitu "pemaksaan keyakinan".
Karena judulnya "pemaksaan", maka tak perlu argumen pendukung yang logis. Cukup dengan argumen pseudo-sains dalam kasus klaim "bumi datar". Atau argumen "mbulet" (petitio-principii a'la Aristoteles) untuk kasus pelaporan penistaan, semacam kasus "ndeso"nya Kaesang.
Disebut "mbulet" karena argumennya tak menjelaskan apapun, kecuali "muter-muter". Dalam kasus "ndeso" misalnya, ketika pelapor ditanya siapa yang terhina dengan ujaran  "ndeso", maka dijawab "orang desa". Mengapa "orang desa" terhina? Karena mereka dicap "ndeso". Apakah cap "ndeso" itu penghinaan? Ya, karena menghina "orang desa". Mbulet!
Sepanjang saya tahu, ujaran "ndeso" itu tak pernah punya konotasi penistaan. Orang Jawa mestinya paling tahu soal ini, karena menyangkut rasa bahasa. Maka saya sangat heran ketika ada orang Batak yang tiba-tiba bilang ujaran "ndeso" itu penghinaan. Mungkin rasa bahasanya sudah sangat "njawani".
Sederhananya, "ndeso" itu konotasinya "tradisional, tertutup, terbelakang". Lawan katanya "kota", yang berkonotasi "modern, terbuka, maju". Orang "kota" bilang, dasar "ndeso" untuk siapa saja yang cupet dan terbelakang pikirannya. Orang "ndeso" bilang "kekota-kotaan" untuk siapa saja yang pamer modernitas. Begitu, kurang lebih.
Ada pijakan teori antropologinya, kalau mau tahu. Robert Redfield menyebut kota sebagai "great tradition" (budaya agung) dan desa sebagai "little tradition" (budaya kecil). Desa diposisikan di bawah kota. Dan kota menjadi orientasi orang desa. Boleh protes, tapi memang ada teori seperti itu.
Tapi lihat fakta empiris saja. Adakah orang di Indonesia yang masuk penjara lantaran mengumbar ujaran "ndeso"? Saya yakin tidak ada. Mengapa? Karena ujaran itu tak pernah dianggap sebagai hinaan. Tapi tak lebih sebagai ujaran "kasar tapi akrab" a'la Surabayaan.
Maka, kembali ke judul, mengatakan ujaran "ndeso" itu hinaan, sama dengan bilang bumi itu datar. Niatnya maksa, lalu cari-cari argumen untuk pembenaran. Tapi semakin dia berargumen, semakin tidak masuk akal. Karena semakin "mbulet".
Soal "mbulet" bumi datar itu mengingatkan saya pada ujaran orang Batak kalau sedang "kalap". Katanya, "Nga hornop huida tano on". Artinya, " Sudah datar kulihat bumi ini". Tak boleh ada kontra-argumen lagi. Pokoknya, aku bilang datar, maka datarlah.