Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Orang Batak dan Terusan Wilhelmina

22 Oktober 2016   19:14 Diperbarui: 23 Oktober 2016   13:39 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terusan Wilhelmina sekitar tahun 1910-an (obatak.com)

Tak banyak orang yang tahu di mana letak Terusan Wilhelmina. Tak terkecuali orang Batak (Toba), terutama generasi Indonesia Merdeka. Bahkan orang Batak, lazimnya menyebut diri 'halak’ (orang) Samosir, yang tinggal di Pangururan Samosir tempat terusan itu berada.

Tapi kalau disebut 'Tano Ponggol' (Tanah Patah), orang Batak umumnya segera tahu. Pasti langsung menunjuk pada terusan yang melintasi tanah genting (menyempit) di Pangururan, menghubungkan teluk di bagian selatan dengan teluk di bagian utara danau. Aslinya terusan itu dinamai Terusan Wilhelmina, mengambil nama Ratu Belanda yang berkuasa semasa pembangunannya.

Terusan Wilhelmina dibangun Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1905-1905 secara manual dengan sistem rodi. Penduduk setempat dipaksa menggali terusan sepanjang 1.5 Km di bawah kawalan tentara Belanda. Terusan itu diberi nama Wilhelmina, nama Ratu Belanda yang meresmikannya secara simbolik tahun 1913.

Pembangunan Terusan Wilhelmina dimaksudkan memudahkan arus logistik militer, ekonomi, dan pemerintahan Pemerintah Kolonial dari wilayah selatan ke utara Tanah Batak (Bataklanden) yang telah dikuasai Belanda waktu itu. Sebelumnya, perpindahan dari selatan ke utara danau dan sebaliknya dilakukan dengan cara menyeret perahu. Dengan dibukanya terusan, maka transportasi bisa lebih cepat dengan menggunakan kapal danau yang lebih besar.

Lepas dari derita warga sebagai tenaga rodi saat penggalian terusan, sejarah mencatatnya sebagai tonggak penaklukan faham mistisme Batak oleh faham rasionalisme Barat yang dibawakan Belanda.

Proses penaklukan itu dengan tepat direpresentasikan oleh sebuah konflik keyakinan dalam proses penggalian terusan itu. Waktu itu penggalian dipimpin langsung oleh L.C. Welsink, Residen Tapanuli, yang merepresentasikan rasionalisme. Masyarakat setempat, yang merepresentasikan mistisme (irrasionalisme) berkeberatan dengan penggalian terusan karena dalam kepercayaan mereka 'tanah genting' itu adalah jalur lintas roh-roh sekaligus tangkai yang mengikatkan daratan Samosir ke Gunung Pusukbuhit di sebelah barat. Memutus jalur itu dengan membangun terusan menurut mereka akan menyebabkan kemarahan roh-roh dan berakibat tenggelamnya daratan Samosir. Untuk membuktikan Samosir tidak akan tenggelam, Welsink ditemani para opsirnya setiap hari lalu duduk di bawah pohon besar di daratan Samosir. Ketika terusan selesai digali, dan terisi air danau, terbukti daratan Samosir memang tak tenggelam.

Tentu saja mistisme Batak tidak serta merta lenyap oleh penjajahan Belanda yang membawakan rasionalisme. Sampai sekarang mistisme itu masih tetap hidup, walau tidak sekental zaman dulu. Sebagai contoh, orang Batak percaya Danau Toba dikuasai oleh dewi air yang digelari 'Boru Saniangnaga', yang bersosok ular (naga) besar. Termasuk juga menguasai mata air ('parhombanan'), sumber air irigasi dan air danau. Misalkan terjadi kapal danau tenggelam dan makan korban, warga akan memberikan persembahan untuk minta lindungan dari Boru Saniangnaga.

Tapi jelas rasionalisme penjajah Belanda itulah yang membuka isolasi Tanah Batak ke 'dunia luar', khususnya Sumatera Timur yang lebih maju. Selain Terusan Wilhelmina, tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan raya dari Parapat ke Balige bersambung ke Tarutung, cikal-bakal jalan raya Trans-Sumatera yang sekarang. Jalan raya itu membuka 'jantung' Tanah Batak ke 'dunia luar', sebagai 'jalur fisik' untuk mengejar kemajuan ('hamajuon') di luar sana. Atau diintervensi 'kemajuan' dari dunia luar.

Bercermin pada kasus Terusan Wilhelmina, terkait kepentingan pengembangan kawasan wisata kelas dunia Danau Toba, baiklah jika rasionalisme lebih diutamakan ketimbang mistisme. Ketimbang membangun makam atau tugu leluhur yang megah misalnya, bukankah lebih baik investasi sarana atau obyek wisata di kampung masing-masing? Mistisme mungkin bagus juga digarap sebagai obyek wisata budaya, tapi dalam hal ia bersifat anti-kemajuan, maka sebaiknya tidak dipertahankan.

Dalam konteks itu mungkin penting untuk menyorot posisi Terusan Wilhelmina terkait pengembangan kawasan wisata Danau Toba. Ada rencana pemerintah untuk membangun jembatan 'Tano Ponggol' yang megah, akan dinamai 'Jembatan Dalihan Na Tolu'. Itu bagus. Tapi lebih penting dari itu sebenarnya adalah pengembangan Terusan Wilhelmina sebagai obyek wisata sejarah, budaya, dan alam di Pangururan. Terusan bisa diperdalam, diperlebar, dan dibangun taman dan sarana wisata di sepanjang bantarannya. Proses itu tentu harus melibatkan warga setempat, tidak saja dalam perencanaan dan pelaksanaannya, tapi terlebih dalam distribusi manfaatnya.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun