Ada dua cara membaca teks, katakan artikel-artikel di Kompasiana. Pertama, membaca “apa”-nya dalam arti menelusur substansi atau isi tulisan. Ini yang paling lazim, melibatkan hampir semua pembaca. Tak terkecuali pembaca Kompasiana.
Kedua, membaca “bagaimana”-nya dalam arti menelisik strategi atau pendekatan penulis dalam memproduksi teks. Terlalu sedikit pembaca yang sudi melakukan ini. Mungkin karena menyangkut ranah metodologi, atau epistemologi, yang cenderung dihindari pembaca. Sebab siapa pula yang sudi bersusah payah memikirkan soal yang rada abstrak itu.
Mungkin hanya orang “aneh” yang mau bersusah-susah mau membaca “bagaimana”-nya sebuah teks diproduksi. Dan di dunia ini tak terlalu banyak orang yang termasuk jenis itu. Saya tidak berharap menjadi seorang di antara mereka, kendati ada kalanya membaca “bagaimana”-nya artikel, khususnya di Kompasiana.
Dari hasil membaca “bagaimana”-nya teks itu, saya “menemukan” tiga alternatif strategi tekstualisasi, atau penuangan pikiran ke dalam wujud teks tulisan. Saya tidak hendak mengklaim temuan itu sebagai hal yang sudah mutlak benar. Untuk amannya lebih baik diperlakukan sebagai hipotesa, atau mungkin wacana yang terbuka untuk diperdebatkan. Bukan sifat saya keras kepala mempertahankan pendapat yang mungkin benar tapi mungkin juga keliru.
Tiga strategi tekstualisasi yang saya maksud adalah “narsisme”, “anarkisme”, dan “nudisme”. Menakjubkan bahwa tiga tipe strategi itu ditemukan lahir dan berkembang di Kompasiana. Sebuah bukti bahwa Kompasiana mampu memicu kreativitas untuk melahirkan inovasi strategi-strategi tekstualisasi alternatif.
Ijinkan saya untuk merumuskan tiga strategi tekstualisasi itu dalam tiga paragraf singkat.
Strategi “narsisme” adalah strategi tekstualisasi “temuan” Kompasianer S Aji. Inti strategi itu adalah “daya puitika”, sebagai medium penulis untuk memanggungkan keindahan teks, baik itu puisi maupun prosa, yang membuat penulis dan pembaca merasakan kekaguman yang sama pada teks yang diproduksi. “Daya puitika” itu ibarat ekor merak, yang dikagumi oleh diri sendiri dan pihak lain yang memandangnya. Dengan strategi itu maka semua produksi teks S Aji jadi terbaca sebagai puisi. Makna teks tidak selalu denotatif tapi konotatif, sering bersifat simbolik. Maka jika kita baca teks-teks S Aji tentang “Sarung” misalnya, segera terbaca bahwa dia tidak sedang bicara “sarung” an sich, tapi sedang bicara tentang struktur dan nilai sosial. Hebatnya, dia menyampaikannya dengan medium “daya puitika” yang memukau.
Lalu yang kedua, strategi anarkisme, yang dianut oleh Kompasianer Felix Tani. Inti strategi yang berakar pada anarkisme metode a’la Paul Feyerabend ini adalah “tidak ada metode tekstualisasi”, sehingga “apa saja boleh”. Dalam anarkisme tektualisasi, penulis bebas menggunakan cara apa saja untuk menulis apa saja, tanpa peduli kaidah-kaidah “menulis yang baik dan benar” yang umum berlaku. Tapi ada nilai dasar yang harus dipatuhi secara inheren yaitu logika, etika, dan estetika. Walau yang terakhir ini tidak dalam arti “daya puitika”. Dengan strategi itu maka Felix Tani memproduksi teks yang terkesan “sak penake dhewe”, dengan cara dan gaya yang tak berpola baku. Pokoknya menulis sesuatu menurut cara yang terpikir saat itu.
Strategi ketiga adalah nudisme a’la Kompasianer Pebrianov. Kerap disebut dengan strategi “menulis tanpa celana”. Inti strategi ini adalah “jujur tanpa pupur”. Maksudnya penulis memproduksi teks tanpa disertai rasa malu untuk menyatakan perasaan-perasaannya sekaligus. Dalam arti tidak ada kemunafikan. Semisal mengaku jujur pasti juga akan menikmati bocoran pilem porno di videotron. Dengan tulisannya, dia mau mengatakan, inilah aku yang “bugil”, terserah kamu suka atau tidak. Bahwa tulisan-tulisannya dikunjungi banyak pembaca, tak lain membuktikan bahwa orang cenderung suka “nudisme”.
Lantas apakah ada semacam garis kontinuum yang menghubungkan ketiga strategi itu? Sehingga bisa dikatakan misalnya setelah narsisme terbitlah anarkisme lalu nudisme?
Saya tidak melihat adanya kontinuum perkembangan semacam itu. Untuk sementara saya cenderung melihatnya sebagai “segitiga strategi” yang menempatkan ketiganya pada posisi (sudut) strategi yang setara. Pilihan penulislah untuk menetap di satu sudut strategi, atau mencoba pindah ke sudut lain, atau mungkin pindah-pindah sudut menurut kepentingannya. Seorang anarkis bisa saja tiba-tiba narsis sebelum nudis di lain kesempatan.