Peta Danau Toba 1878 Buatan RMG Jerman (IchwanAzhari/sumut.pojoksatu.id)
Belakangan ini di kalangan warga sekitar Danau Toba semakin santer terdengar suara “menolak jadi Batak”. Ini tergolong suara radikal karena menyangkut penolakan pada realitas Batak sebagai sebuah konstruksi kesatuan. Tegasnya konstruksi sosial sebagai sebuah “bangsa”, sebuah “komunitas terbayang” (imagined community) menurut konsepsi Ben Anderson. Dalam arti “bangsa” Batak itu adalah realitas yang dibayangkan ada oleh warga Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, dan Mandailing. Konsekuensi penolakan itu adalah runtuhnya bangunan Batak sebagai sebuah “bangso” (bangsa) lokal.
Suara-suara penolakan jadi Batak terdengar antara lain di kalangan Karo dan Simalungun. Penolakan yang didukung juga oleh hasil-hasil riset terbaru yang mengindikasikan perbedaan asal-usul nenek-moyang Karo, Simalungun, dan Toba. Sehingga secara ilmiah, sedikit banyak memang ada bukti untuk menyangkal tesis bahwa Toba, Karo, dan Simalungun (serta Pakpak dan Mandailing) berasal dari satu leluhur yang sama di Sianjurmulamula, di kaki Gunung Pusukbuhit. Walau sebenarnya tak perlu juga sangkalan ilmiah untuk ini. Karena kisah “Si Raja Batak” hanya sebuah mitologi, seperti halnya mitologi Yunani. Lazimnya mitologi, bukan kebenaran empirik yang diserap darinya melainkan kandungan nilai moralnya.
Barangkali yang hendak disangkal sebenarnya adalah gagasan bahwa semua orang Batak berasal dari Sianjurmulamula. Sebab gagasan ini berimplikasi bahwa leluhur orang Karo dan Simalungun itu adalah orang Toba. Mengingat Sianjurmulamula berada di Toba. Kalau itu alasannya maka penolakan itu terbilang aneh. Sebab penyebutan Batak itu sejak awal tidak merujuk pada komunitas Sianjurmulamula. Sebutan itu adalah konstruksi sosial orang luar yaitu para pengelana/peneliti, lalu zendeling dan missionaris, dan akhirnya Pemerintah Kolonial Belanda.
Kata “Batak” bukanlah sesuatu yang berasal dari khasanah bahasa penduduk asli kawasan Danau Toba. Puak-puak yang kini disebut Batak itu pada awalnya tidak mengidentifikasi diri dengan nama itu. Mekainkan dengan nama Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, dan Mandailing. Penamaan “Batak” (Batta, Bata) diduga pelabelan oleh orang pesisir yang telah maju terlebih dahulu berkat perjumpaan dengan budaya luar atau asing. Arti kata itu adalah “pengembara, liar, kanibal, belum beradab”. Label itu yang diterakan orang pesisir untuk orang gunung atau pedalaman yang tak mereka kenal.
Penamaan itu pula yang agaknya diikuti oleh para orientalis pertama yang menulis tentang Batak, seperti Tome Pires (catatan perjalanan 1512-1515, diterbitkan 1944, The Suma Oriental of Tome Pires) dan Wiliam Marsden (1784, The History of Sumatra). Nama Batak itu dikenakan pada semua kelompok etnis yang berdiam di kawasan lingkar Danau Toba. Hal itu kemudian diikuti para zendeling RMG Jerman dan misionaris Katolik pada paruh kedua 1880-an. Terakhir dikukuhkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai konstruksi untuk penyatuan seluruh masyarakat di wilayah lingkar Danau Toba. Jadi penamaan Batak itu sejatinya konstruksi sosial-politik yang diikuti sampai kini.
Bahkan bukan hanya nama “Batak”, nama “Danau Toba” juga bukan pemberian warga sana. Itu penamaan dalam peta zendeling Jerman tahun 1880-an. Dalam peta ditulis “Toba See”. Aslinya ada tiga penamaan wilayah danau yaitu “Tao Muara” di sebelah barat, “Tao Balige” di sebelah selatan, dan “Tao Silalahi” di sebelah utara. Mungkin untuk alasan teknis kartografi lalu secara keseluruhan dinamai Tao Toba (Danau Toba). Penamaan yang mungkin kurang nyaman bagi Simalungun, Karo, dan Pakpak karena identitas mereka lenyap dalam penamaan itu.
Kembali ke soal penolakan menjadi orang Batak, saya tak melihat alasan substansil di situ. Karena sebagai konstruksi sosial “komunitas terbayang”, nama Batak melekat dengan status setara pada semua puak. Batak adalah semua, bukan hanya orang Toba. Jadi, apanya yang harus ditolak? Apakah karena ada konotasi negatif yang melekat pada nama Batak? Kalau itu soalnya, tugas orang Batak-lah untuk me-rebranding etniknya untuk membangun citra Batak yang positif.
Saya perlu menuliskan soal ini agar semua puak Batak bisa lebih fokus pada persamaan, bukan perbedaan di antara mereka. Ada yang lebih penting dari pada sekadar menggugat legitimasi kebatakan, yaitu kerjasama semua puak Batak di lingkar wilayah Danau Toba untuk mewujudkan kawasan wisata kelas dunia di situ. Suara-suara penolakan menjadi Batak semacam itu bisa memicu disintegrasi antar kelompok masyarakat lingkar Danau Toba. Dan disintegrasi jelas tak pernah berdampak positif pada pembangunan.
Horas. Mejuah-juah. Njuah-juah.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H