Kita mulai dengan membedah frasa “kacamata hitam”. Kata “kacamata” itu gabungan dua kata, “kaca” dan “mata”. Artinya “sesuatu yang mengacai mata”, bukan “mata yang berkaca-kaca” alias “ngembeng”. Namanya kacamata, posisinya pastilah nangkring di depan mata. Kalau nempel di mata, kelilipan beling namanya. Atau pakai lensa lunak.
Lalu ada kata keterangan “hitam”. Jadi “kacamata hitam”. Sebenarnya bukan hitam, tapi tingkat kebeningannya dikecilkan sehingga jadi “gelap”. Artinya “digelapkan”, bukan dalam arti disembunyikan untuk diri sendiri. Sehingga yang benar sebenarnya “kacamata gelap”. Tapi frasa ini bermakna ganda: bisa berarti kacamata seludupan atau tiruan, bisa berarti kacamata khusus kondisi gelap, berarti untuk melihat dalam gelap, pakai inframerah. Karena itu kita konsisten sajalah pakai frasa “kacamata hitam”, walau faktual ada juga yang coklat.
Pertanyaan umum: mengapa seseorang memilih pakai kacamata hitam? Ada banyak alasan. Pertama, untuk bergaya, berarti tuntutan mode. Maka kacamata hitam menjadi bagian dari gaya berbusana, sebagai aksesoris pembentuk kesan “wow keren”. Ada yang kebablasan pakai kacamata hitam malam hari, sambil nyetir pula.
Kedua, untuk melindungi mata dari terpaan langsung cahaya kuat, entah itu cahaya matahari ataupun cahaya bara api las besi. Maka seseorang berkacamata hitam saat berjalan kaki atau berkendara di bawah terik matahari, atau lagi mandi matahari di pantai atau di atap rumah, atau sedang mengelas tiang-tiang besi di proyek konstruksi.
Ketiga, untuk melindungi mata yang sakit atau sensitif dari terpaan sinar, debu, dan angin. Termasuk yang sakit dari lahir. Ini bukan pilihan, tapi keharusan atas alasan kesehatan.
Keempat, untuk menyembunyikan atau menyamarkan identitas diri karena berbagai sebab. Bisa karena sifat pekerjaannya yang menuntut kerahasiaan tingkat tinggi, misalnya agen rahasia, intel,pencuri, peselingkuh, atau mata-mata. Bisa juga karena malu dikenali orang terkait perilaku tak terpuji, semisal koruptor, atau terkait perilaku miring masyarakat tempatnya berada, semisal pengunjung lokalisasi pramuseks.
Setelah ngalor-ngidul ngetan- ngulon khas Jawa, lalu apa musabab atau alasan Kompasianer Susy Haryawan pakai kaca mata hitam seperti pada pp akun Kompasiana-nya? Sudah agak lama sebenarnya saya tertanya-tanya sampai kemudian kemarin sore, “Eureka, ketemu jawabnya!”
Alasannya yang tunggal dan sah adalah karena Susy Hayawan itu ternyata warga desa Kesongo, Salatiga. Lurah desa ini terkenal sebagai bos Sembir, bekas lokalisasi yang kini berkamuflase jadi karoke keluarga. Cilaka 13-nya lurah Kesongo yang sohor itu baru saja ditangkap polisi lantaran mabuk sambil ngepruk polisi. Ini bocoran langsung dari Susy Haryawan sendiri lho (“Bapak Bupati Semarang, Bagaimana Kades Seperti Ini?, K.12.10.16). Jadi Susy sendiri yang membuka rahasia kemaluaannya, sehingga dia perlu pakai kacamata hitam. “Saya sangat malu …” tulisnya.
Ya, bisa dibayangkan memang betapa malunya Susy Haryawan. Coba pikir, baru turun dari panggung Kompasianival 2016 menerima trofi Best in Opinion, tiba-tiba dikonfrontir Felix Tani, “Ooo jadi Mas Susy tetangga lurah Kesongo yang bos lokalisasi Sembir itu toh?” Alamaak, bagus pakai kacamata hitam saja, biar gak dikenali orang.
Kendati Susy Haryawan tak ada sangkut pautnya dengan Sembir atau bisnis karoke lurahnya, tetap saja malu lantaran label “Lurah Bos Lokalisasi Sembir”, tetangga sedesa pula. Itu serupa malunya Pebrianov dituduh “tanpa celana” saat nginap di sebuah hotel di Jakarta, hanya gara-gara mandi sendiri telanjang di kamar mandi tertutup.
Memang sungguh malu punya pimpinan yang bejat. Kata orang, “Pimpinannya aja seperti itu, gimana warganya?” Nah, lo. Cilakanya pimpinan bejat itu sungguh tak malu pula. Maka warganya yang tambah malu. Sehingga perlu menyamarkan identitas dengan kacamata hitam. Susy Haryawan itu contoh terbaik, bukan yang lain.(*)