Ijinkan saya memberi apresiasi pada artikel rekan S. Aji, “Tentang Suara dan Kata-kata” (K. 25.08.16) dalam bentuk artikel balasan. Bukan hendak berpolemik, tapi lebih pada perbincangan antar teman.
Artikel Aji itu ditulis khusus merespon catatan saya, “Tulisan Adalah Penjara Kata” (K. 19.08.16). Yang terakhir ini saya tulis menanggapi artikel Aji terdahulu, “Narsisus dan Suara-suara dalam Kepala” (K. 18.08.16). Jelas, kami memang sedang berbincang.
Dalam artikel “Tentang Suara dan Kata-kata” itu rekan Aji pada intinya menyampaikan dua hal fundamental.
Pertama, tercapainya “kesepahaman sementara” di antara kami berdua bahwa, mengutip kata-kata Aji sendiri, “…ketika suara berbentuk sebagai kata, ia telah menjadi terpenjara. Ia akan tunduk pada otoritas penulis. Suara-suara tersebut akan kehilangan kemerdekaannya. Suara-suara itu lebih merdeka justru ketika ia tidak disetubuhi kata-kata.” Sehingga demi kemerdekaannya, “… suara-suara itu sebaiknya diam saja di dalam kepala.”
Saya perlu tekankan sifat “sementara” pada kesepahaman itu. Sebab pikiran manusia adalah zat yang senantiasa berkembang dengan cara dan arah yang tak selalu bisa ditebak. Hari ini kami “baku peluk”, besok bisa saja “baku pukul”. Siapa yang kuasa mendikte pikiran kami?
Karena sudah ada “kesepahaman sementara” soal hakikat suara dan kata, maka saya tak akan membahasnya lagi.
Saya ingin masuk pada hal fundamental kedua yaitu apa yang disebut Aji sebagai “metode meramu kata”. Atau, dalam istilah saya, “metode tulis”.
Pada titik ini saya mohon ijin untuk menyentuh garis arena pergulatan rekan Aji yaitu pergulatan metodik. Seperti pengakuan Aji sendiri: “... pada problem metode, saya mengalami pergulatan. Persisnya pada metode olah fiksi. Pergulatan itu ada pada tantangan: bagaimana tidak membebani makna karena kategori-kategori tertentu yang diacu dalam berbahasa (dengan kategori sosiologi, misalnya). Sementara di saat bersamaan, kategori-kategori tersebut justru menjadi karakteristik yang membedakan.”
Saya bilang “menyentuh” saja, bukan melangkahi garis untuk masuk ke dalam “arena gulat”. Saya tak akan melakukan itu karena alasan batas kompetensi. Seperti dikatakan Aji, dia sedang “…mengalami pergulatan. Persisnya pada metode olah fiksi. ...berkaitan dengan penemuan ‘daya puitika’. …Metode menemukan karakter puitika …” Sebuah pergulatan demi “… menemukan jenis gairah yang selalu menyala dan "ke-saya-an dalam puisi-cerpen-novel"; ke-saya-an dalam susastra.”
Jadi saya sangat tahu diri untuk tidak masuk ke dalam lingkaran “daya puitika”, teman gelut Aji itu. Sebab, sejujurnya, saya sebenarnya bukan orang yang percaya pada keindahan kata-kata puitik. Saya lebih menikmati puisi pada polah alam, semisal awan berarak, desir angin, riak telaga, bangau terbang, dan kicau murai. Sebab kata selalu manipulatif, tapi tidak dengan polah alam.
Jadi dari garis batas lingkaran pergulatan metodik Aji, saya hanya ingin berbagi pengalaman saja. Sebuah pengalaman subyektif yang mengantar saya pada anarkisme metode tulis, yang saya sebut “anarkisme tekstualisasi”. Anarkisme yang menerakan “signature” (“ke-saya-an”, kata Aji) pada tulisan.