Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Metode Tulisku Adalah Tanpa Metode

1 September 2016   14:32 Diperbarui: 1 September 2016   14:49 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ijinkan saya memberi apresiasi pada artikel rekan S. Aji,  “Tentang Suara dan Kata-kata” (K. 25.08.16) dalam bentuk artikel  balasan. Bukan hendak berpolemik, tapi lebih pada perbincangan antar teman.

Artikel Aji itu ditulis khusus merespon catatan saya, “Tulisan Adalah Penjara Kata” (K. 19.08.16). Yang terakhir ini saya tulis menanggapi artikel Aji terdahulu, “Narsisus dan Suara-suara dalam Kepala” (K. 18.08.16). Jelas, kami memang sedang berbincang.

Dalam artikel “Tentang Suara dan Kata-kata” itu rekan  Aji pada intinya menyampaikan dua hal fundamental.

Pertama, tercapainya “kesepahaman sementara” di antara kami berdua bahwa, mengutip kata-kata Aji sendiri, “…ketika suara berbentuk sebagai kata, ia telah menjadi terpenjara. Ia akan tunduk pada otoritas penulis. Suara-suara tersebut akan kehilangan kemerdekaannya. Suara-suara itu lebih merdeka justru ketika ia tidak disetubuhi kata-kata.” Sehingga demi kemerdekaannya, “… suara-suara itu sebaiknya diam saja di dalam kepala.” 

Saya perlu tekankan sifat “sementara” pada kesepahaman itu. Sebab pikiran manusia adalah zat yang senantiasa berkembang dengan cara dan arah yang tak selalu bisa ditebak. Hari ini kami “baku peluk”, besok bisa saja “baku pukul”. Siapa yang kuasa mendikte pikiran kami?

Karena sudah ada “kesepahaman sementara” soal hakikat suara dan kata, maka saya tak akan membahasnya lagi.

Saya ingin masuk pada hal fundamental kedua yaitu apa yang disebut Aji sebagai “metode meramu kata”. Atau, dalam istilah saya, “metode tulis”.

Pada titik ini saya mohon ijin untuk menyentuh garis arena pergulatan rekan Aji yaitu pergulatan metodik. Seperti pengakuan  Aji sendiri: “... pada problem metode, saya mengalami pergulatan. Persisnya pada metode olah fiksi. Pergulatan itu ada pada tantangan: bagaimana tidak membebani makna karena kategori-kategori tertentu yang diacu dalam berbahasa (dengan kategori sosiologi, misalnya). Sementara di saat bersamaan, kategori-kategori tersebut justru menjadi karakteristik yang membedakan.”

Saya bilang “menyentuh” saja, bukan melangkahi garis untuk masuk ke dalam “arena gulat”. Saya tak akan melakukan itu karena alasan batas kompetensi. Seperti dikatakan Aji, dia sedang “…mengalami pergulatan. Persisnya pada metode olah fiksi.  ...berkaitan dengan penemuan ‘daya puitika’. …Metode menemukan karakter puitika …” Sebuah pergulatan demi “… menemukan jenis gairah yang selalu menyala dan "ke-saya-an dalam puisi-cerpen-novel"; ke-saya-an dalam susastra.”

Jadi saya sangat tahu diri untuk tidak masuk ke dalam lingkaran “daya puitika”, teman gelut Aji itu. Sebab, sejujurnya, saya sebenarnya bukan orang yang percaya pada keindahan kata-kata puitik. Saya lebih menikmati puisi pada polah alam, semisal awan berarak, desir angin, riak telaga, bangau terbang, dan kicau murai. Sebab kata selalu manipulatif, tapi tidak dengan polah alam.

Jadi dari garis batas lingkaran pergulatan metodik Aji, saya hanya ingin berbagi pengalaman saja. Sebuah pengalaman subyektif yang mengantar saya pada anarkisme metode tulis, yang saya sebut “anarkisme tekstualisasi”. Anarkisme yang menerakan “signature” (“ke-saya-an”, kata Aji) pada tulisan.

Pergulatan metodik saya sejatinya terjadi dalam ranah riset sains sosial. Pergulatan yang berujung pada ungkapan anarkis “metodeku adalah tanpa-metode”,  menyitir Brian Jackson. Saya tiba di situ setelah bertahun-tahun “terpenjara” oleh batas-batas saintifik yang dingin dan kaku tanpa ruh. Ujung itu teraih berkat perjumpaan dengan Paul Feyerabend yang mengajarkan paham “menentang metode” (against method). Intinya, menurut Feyerabend, tidak ada itu yang disebut metode ilmiah. Jadi, apa saja boleh dalam sains.

Saya kemudian menerjemahkannya pada ungkapan anarkis (yang subyektif)  “cara apa saja boleh sejauh logis, etis, dan estetis”. Karena tak didikte oleh suatu metode baku maka, dalam riset sosial,  saya ringan saja menerapkan “metode tanpa-metode”.

Lantas apa implikasi “metode tanpa-metode” itu? Yang jelas saya bisa melepaskan diri dari apa yang disebut Aji sebagai beban “kategori” yaitu "keharusan untuk selalu rasional ala saintisme". Justru karena dengan anarkisme metodik, saya terbebaskan dari rigiditas kaidah-kaidah “metode sains” yang tak berjiwa itu. Terbebaskan dari “kekang” atau “kacamata kuda”  konsep-konsep kategoris saintik dalam tafsir dan pemaknaan.

Maka, melalui “metode tanpa-metode” saya dengan sendirinya terfasilitasi untuk “mengada” dalam setiap karya dan karsa saintik. Mengada dalam arti berbeda dari karya dan karsa saintik arus utama yang baku, kaku, atau sebenarnya angkuh. Itulah “signature”, penciri, atau “ke-saya-an” menurut istilah Aji. 

Apakah dengan anarkisme metode itu lantas konsep dan teori saintifik tak punya peran dalam proses  kerja riset saya? Tentu saja punya peran sangat penting. Tapi terutama bukan sebagai pagar pembatas, melainkan penajam intuisi. Sebab dalam praktek metode tanpa-metode, sesungguhnya intuisilah yang menuntun cara dan arah kerja.

Metode tanpa-metode itulah yang kemudian saya terapkan dalam kerja menulis. Maka saya mengaku bahwa metode tulisku adalah tanpa-metode. Ini yang saya sebut anarkisme tekstualisasi, sebangun dengan anarkisme metode dalam riset sosial.

Tak ada kesukaran untuk mengalih-terapkan anarkisme metode atau metode tanpa-metode itu dari ranah riset saintifik ke tanah tulis-menulis atau tekstualisasi. Sebab bagi saya proses tekstualisasi pada dasarnya proses riset juga. Jadi, meriset dan menulis pada hakikatnya sama.

Tentu bukan maksud saya untuk menasihati rekan Aji dengan berbagi pengalaman subektif semacam ini. Setiap orang adalah unik sehingga satu sama lain mustahil mereplikasi pengalaman. Saya bukan model untuk Aji atau siapa saja.

Tapi, kalau boleh berbagi amatan, saya sebenarnya sudah melihat “signature ke-Aji-an” dalam tulisan-tulisan Aji. Dalam arti saya bisa bilang, “Hanya Aji yang bisa begini.”

Jadi, saya khawatir pergulatan Aji sebenarnya bukan kegalauan metodik, melainkan lebih pada sindrom marginalitas. Saya khawatir persoalan Aji sebenarnya adalah kegamangan dalam pilihan antara melintas batas ke ranah posmodernitas, atau tetap di wilayah modernitas, atau bolak-balik semaunya antara ke duanya.

Kegamangan yang menempatkan Aji berdiri risau di garis batas, margin(alitas), sehingga tak pernah bisa dengan tepat melihat “ke-saya-an”nya dalam setiap anggitan susastranya. Padahal, apa yang disebutnya “metode menemukan karakter puitika” sudah ada di tangannya. 

Tapi, mudah-mudahan saja kekhawatiran saya adalah sebuah kesalahan. Saya akan bahagia jika salah dalam hal ini.(*)

 

*)Saya berterimakasih juga kepada rekan Severus Trianto dan MJK Riau yang sudah ikut dalam diskysi ini. 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun