Tapi faktanya begitulah. Terlalu banyak artikel reproduksi di Kompasiana. Penulisan artikel semacam itu, mungkin bisa disebut sebagai kegiatan “memahah biak”. Sudah ditelan, dikeluarkan lagi untuk dikunyah-ulang. Terus menerus begitu, sampai saripatinya hilang. Dengan kata lain, keseringan dimamah, artikel jadi kehilangan makna.
Saya pernah melakukan hal seperti itu. Tapi kemudian berusaha untuk meninggalkan cara itu. Atas kesadaran bahwa saya bukan sejenis mahluk “pemamah biak”.
Lebih baik diam tak menulis, ketimbang menjadi “pemamah biak”. Contoh yang baik untuk ini saya kira adalah Kompasianer Sarwo Prasojo. Tadinya beliau ini tergolong Kompasianer “Ikut Angin”. Maksudnya, kemana angin bertiup ke situ dia terbawa. Sampai kemudian, mungkin setelah bertapa di Karangbolong, dia menemukan dirinya sebagai cerpenis.
Maka, rekan Sarwo sekarang konsisten hanya menulis cerpen dan harus Head Line. Kalau tak Head Line, lebih baik tak menulis cerpen. Ini prinsip yang mengagumkan, patut diteladani. Dan saya tahu rekan Sarwo tak mudah untuk sampai ke level itu. Apalagi, selera sastranya sebenarnya tak lebih rendah dari saya.
Satu-satunya Kompasianer yang saya tak ingin teladani adalah Felix Tani. Dia ini tergolong Kompasianer anarkis yang menulis apa saja yang dia mau dengan cara apa saja yang terpikir olehnya. Lebih buruk lagi, dia memproklamirkan diri sebagai penulis artikel picisan dan sangat bangga dengan predikat itu. Saya ingatkan, jangan tiru Kompasianer aneh ini.
Saya agak heran juga sebenarnya ada yang tertarik ikut-ikutan anarkis seperti Felix Tani. Satu orang yang sudah mengaku adalah Kompasianer Pebrianov, menyebut dirinya sebagai penulis “tanpa celana.” Sekarang ini, saya pikir, rekan Pebrianov adalah Kompasianer penulis artikel picisan terbaik di Kompasiana. Boleh ditiru prestasinya.
Sudah 594 kata. Bukankah tadi saya bilang tak menulis artikel di Kompasiana hari ini?
Betul, saya memang tak menulis artikel di Kompasiana hari ini. Di atas kan sudah ada pemberitahuan: artikel ini tidak pernah ada.
Jadi kalau Anda merasa membaca artikel sekarang ini, yakinkanlah diri bahwa Anda sedang membaca sebuah artikel yang tidak pernah ada.
Kok bisa? Apa sih yang gak bisa di Kompasiana?(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H