Letak Tragedinya
Aksi solidaritas sosial, dalam hal ini yang bersifat mekanis, lazimnya ditujukan kepada seseorang atau sekolompok orang yang berstatus “korban”. “Korban” di sini bermakna “orang yang menjadi miskin secara sosial-ekonomi akibat bekerjanya faktor bencana, perang, atau politik”.
Faktanya, Kakek Suaedi dan Bu Saeni bukanlah “korban” yang menjadi miskin akibat dari salah satu faktor itu. Mereka hanya terkesankan “miskin” karena dicitrakan begitu melalui kekuatan media sosial.
Informasi sepihak semacam itu, dan dangkal, ternyata langsung memicu simpati netizen. Sebab informasi itu memuat “fakta orang kalah” (oleh kekuasaan dan lain-lain), dan netizen cenderung memposisikan dirinya sebagai “orang kalah” juga.
Maka, selanjutnya, solidaritas dalam bentuk donasi menjadi sangat mudah dibangun melalui media sosial. Netizen penyumbang cuma perlu “orang kalah” untuk disumbang. Tidak pernah bertanya lebih jauh tentang “siapa sebenarnya orang kalah” itu.
Solidaritas seperti itu sejatinya sangat baik, tapi kemudian menjadi sebuah tragedi manakala subyek solidaritas itu ternyata bukan orang yang sepantasnya. Kakek Suaedi dan Bu Saeni bukanlah orang-orang yang paling pantas untuk dibantu, karena masih banyak yang lebih parah kondisinya.
Jadi, bukankah sebuah tragedi solidaritas jika orang sebenarnya cukupan secara sosial-ekonomi justru memperoleh kucuran dana solidaritas?
Maka, ke depan, sebaiknya netizen dapat lebih kritis menanggapi penggalangan solidaritas semacam itu. Teliti sebelum memberi. Jangan lagi menjadi bagian dari sebuah tragedi.(*)
*)Artikel ini adalah pemikiran awal tentang konsep "tragedi solidaritas", dan sangat terbuka untuk diperdebatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H