Bertepatan hari ini, 1 Juni 2016, Hari Lahir Pancasila, aku keluar sejenak dari “rumah hening”. Semata-mata untuk merayakan Hari Lahir Pancasila. Tapi dengan cara yang tak lazim. Merayakannya dengan sebuah pengakuan, “Aku benci Pancasila!”
Ini pengakuan serius. Peristiwa lama. Tahun 1970 kalau tak salah. Waktu itu aku kelas 3 Sekolah Dasar.
Guruku, tepatnya guru kami, mewajibkan tiap siswa harus hafal Pancasila. “Harus hafal luar kepala,” katanya.
Kalau dipikir sekarang, guru kami itu aneh sekali. Hafal luar kepala, katanya. Kalau di luar kepala, mana bisa hafal. Hafal itu kalau ada di dalam kepala. Di dalam benak.
Aneh. Tapi sudahlah. Waktu itu aku belum bisa berpikir kritis. Jadi, tanpa pikir, terima saja apa kata guru.
Masalahnya, “hafal luar kepala” itu harus dibuktikan. Maka secara bergilir, tiap siswa harus maju ke depan kelas mengucapkan kelima sila Pancasila di luar kepala.
Entah bagaimana caranya, hanya segelintir siswa yang tidak hafal luar kepala. Cilakanya, di antara segelintir itu, termasuklah aku.
Lebih cilaka lagi aku, sudah tiga kali berdiri di depan kelas, dan tiga kali itu pula tidak hafal Pancasila di luar kepala.
Malulah aku pada teman-teman. Lebih malu lagi, dan juga sangat sakit, karena sudah tiga kali itu betis kiri dan kananku disabet guru kami pakai rotan. “Upah untuk anak yang tak hafal Pancasila,” katanya.
Waktu itu guru memukul siswa masih lumrah. Bahkan didukung oleh orangtua. “Hajar saja kalau nakal atau bodoh Pak Guru,” begitu kata orangtua.
Orangtua bisa terima anaknya dipukul guru. Tapi aku tidak. Aku tak terima dipukul lantaran tak hafal Pancasila.