Kedua, mereka menafsir foto itu secara subyektif sepihak, berdasar kerangka pikir di kepalanya sendiri. Cara tafsir seperti itu menjadi bermasalah karena bersifat etnosentris, yaitu “mengenakan nilai-nilai sendiri pada pihak lain”.
Dalam kasus foto yang disebut sebagai “Teman Mabok” itu, para Anti-Ahok menafsir berdasarkan pengalaman subyektifnya sendiri. Ada dua kemungkinan di sini: penafsirnya punya pengalaman mabuk karena minum sekaleng bir, atau punya apriori untuk menyimpulkan minum bir pasti mabuk-mabukan.
Dengan begitu, karena subyektif sepihak, kaum Anti-Ahok penafsir foto itu sebenarnya telah menebar “fitnah” tentang Ahok dan para pegiat media sosial yang hadir dalam pertemuan itu.
Idealnya, foto itu ditafsir dengan pendekatan inter-subyektivitas. Hal ini dimungkinkan karena para “subyek foto” itu semua masih hidup, dan dapat dihubungi satu per satu. Harusnya, ditanyakan juga tafsir makna pertemuan itu menurut pengalaman subyektif mereka.
Perlu ditanyakan apa tujuan dan materi pembicaraan dalam pertemuan itu. Bagaimana proses dan suasana pertemuan. Apa hasilnya?
Lalu ditanyakan pula mengapa ada bir di situ. Siapa saja yang minum bir. Berapa banyak bir disediakan. Apakah ada yang mabuk?
Pandangan subyektif subyek pelaku pertemuan itu dan pandangan penafsir luar, dalam hal ini kaum Anti-Ahok, kemudian didialogkan, sehingga dicapai sebuah kesepakatan tentang makna pertemuan sebagaimana digambarkan foto itu. Inilah namanya inter-subyektifitas, suatu metode subyektif untuk menemukan kebenaran.
Tapi, mungkin, para Anti-Ahok itu akan berdalih, “Kami obyektif saja menafsirnya!” Alasannya, mungkin, tak percaya kepada subyek pelaku dalam foto, karena mereka mungkin akan berbohong.
Baiklah, setuju, para Anti-Ahok menggunakan pendekatan obyektif. Pertanyaannya, obyektif yang bagaimana? Soalnya, saat menafsir foto itu, para Anti-Ahok sudah masuk dalam perangkap “reduksionisme”. Artinya membuat kesimpulan yang berlaku umum (“Ahok bersama peserta pertemuan mabok-mabokan) berdasar cuplikan tunggal yang bersifat sesaat (“Foto suasana pertemuan pada satu detik tertentu”). Karena bersifat “reduksionisme”, maka dengan sendirinya kesimpulannya invalid. Sama parahnya, bukan?
Kalau benar obyektif menafsir foto itu, maka yang keluar mestinya pernyataan-pernyataan faktual seperti ini. (1) Ahok dan sejumlah pegiat media sosial mengadakan pertemuan. (2) Pertemuan dilaksanakan di rumah pribadi Ahok (bukan di rumah dinas atau Kantor Gubernur). (3) Ahok melakukan pertemuan dalam kapasitas sebagai warga biasa (karena tak mengenakan atribut Gubernur DKI). (4) Dalam pertemuan itu disajikan minuman berupa air mineral dan bir (berarti ada yang minum bir). (5) Semua peserta pertemuan terlihat duduk/berdiri tegak (tidak ada yang tertelungkup atau tergeletak sebagai indikasi mabuk).
Perhatikan sekali lagi foto itu baik-baik. Tidak ada satu fakta pun yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyatakan, paling sedikit, “Ada seorang yang terindikasi mabuk.” Itu sebabnya kesimpulan “mabuk-mabukan” itu masuk kategori “fitnah”.