Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

30 Tahun Berlalu dan Sebuah Surga Hilang (1)

17 Maret 2016   08:46 Diperbarui: 18 Maret 2016   08:25 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah Sabtu siang yang biru cerah, Januari 1967, di Portibi, dusun kecil di pedalaman Tanah Batak, terselip dalam pelukan lembah di dasar punuk-punuk Bukit Barisan, tidak akan pernah ditemukan dalam peta wilayah Tapanuli Utara tahun 1960-an.

Aku, putra asli Portibi, usia 6 tahun, berlari mendaki lereng bukit Partalinsiran yang berdiri tegak di sisi utara dusun, hendak menjemput datangnya kesenangan Sabtu.

Dari puncak bukit itu, di mata kanak-kanakku, dusun Portibi terlihat teramat damai seperti gambar surga dalam Jubilate, buku nyanyian umat Katolik. Ya, bagiku serta teman-temanku, Portibi adalah sebuah surga dalam kenyataan. Surga kecil yang setia memberi ketenangan dan kesenangan bagi kami.

Dusun Portibi memang teramat kecil, hanya terdiri dari enam rumah yang berjejer dari timur ke barat. Semua rumah menghadap ke utara, ke arah untaian bukit-bukit padang penggembalaan. Bukit Partalinsiran, yang tertinggi, adalah salah satunya.

Dari atas bukit, pandangan mataku menyapu hamparan kebun di belakang barisan rumah. Aneka tanaman tumbuh subur di situ. Ada pisang, ubi kayu, ubi rambat, talas, kopi, nangka, jeruk, kecapi, jengkol, kemiri, dan petai. Ada juga bambu, enau, kayu putih, dan beringin.

Tepat di sebelah selatan kebun itu, menutupi suatu lembah subur, terhamparlah areal persawahan warga Portibi. Dari atas bukit Partalinsiran, hamparan sawah itu terlihat bak kanvas lukisan alami. Warnanya berubah setiap bulan. Hitam lumpur sawah siap tanam bulan Desember disusul hijau pupus padi muda bulan Januari. Lalu hijau tua padi berbunga bulan Februari disambung hijau kekuningan bulir padi bulan Maret sampai April. Akhirnya kuning emas padi siap panen bulan Mei diikuti cokelat jerami sisa panen bulan Juni.

Perlu tujuh bulan untuk menikmati seluruh keindahan lukisan alam sawah itu. Hanya aku dan teman-temanku yang pernah mengalaminya.

Di hilir persawahan terdapat hamparan rawa berseling bukit-bukit kecil. Di tanah berawa itu, setiap keluarga Portibi membangun tebat ikan masing-masing. Isinya ikan mas, mujair, lele, gabus, dan bader. Sumber protein bagi keluarga-keluarga Portibi.

Tatap mataku menerawang jauh ke selatan. Terbentang luas di hadapanku panorama indah lembah besar bernama Toba Holbung. Dari atas bukit Partalinsiran, lembah besar itu tampak dipenuhi untaian gelombang punggung perbukitan. Punggung-punggung perbukitan itu memantulkan warna-warni alami yang indah dan selalu berubah menurut arah dan intensitas sinar matahari. Kata seorang pastor kulit putih, yang pernah berkunjung ke Portibi, pemandangan itu mengingatkan keindahan panorama Tuscani Italia.

Kualihkan tatapan mataku ke arah timur. Tanpa melihat, aku tahu sekitar seratus meter dari perumahan, di ceruk sebuah lembah kecil, ada sebuah pancuran besar. Di situ semua orang Portibi mandi, mencuci, dan mengambil air minum. Airnya amat jernih lagi bersih. Orang Portibi terbiasa langsung meminumnya kapan saja rasa haus datang.

Air pancuran itu sebenarnya untuk mengairi sawah. Airnya bersumber dari hutan di punuk-punuk pegunungan Bukit Barisan nun jauh di sebelah timur. Dari tempat itu air dialirkan melalui saluran yang dibangun meliuk-liuk di pinggang punuk-punuk pegunungan, menerobos belantara yang menyajikan eksotisme panorama hutan tropis perawan.

Menurut cerita turun-temurun, di hutan belantara itu hidup seekor harimau sakti. Konon harimau itu bisa martondung, menghilang di balik selembar daun ilalang. Konon lagi, hanya orang-orang yang punya indera keenam bisa melihatnya.

Konon, sekali lagi konon, jika suatu saat kita mujur bersua dengan harimau itu sedang menyantap hewan buruannya, mintalah sebagian, pasti akan diberikan. Asalkan kita punya nyali macan juga untuk minta secara sopan: ”Ompung, tolong sisakan sedikit untukku”.

Mataku menatap lekat punuk Bukit Barisan yang paling tinggi. Itulah gunung Simanuk-manuk yang mistis. Konon di puncaknya yang selalu berselimut awan itu bersemayam Namartua Simanuk-manuk. Itulah roh penguasa seluruh lembah di bawahnya, termasuk dusun Portibi.

Persis di dasar barisan punuk itu ada sebuah ngarai bernama Jampalan, yang terbelah dua oleh aliran sebuah sungai, yang mengalir jauh hingga bermuara di bibir pantai Danau Toba.

Ngarai Jampalan adalah padang penggembalaan kerbau di musim kemarau. Ngarai yang selalu basah, sehingga pada musim paling kering sekalipun selalu tersedia rumput hijau dan air minum untuk kerbau. Pada pagi hari, aku dan teman-temanku akan pergi melepas kerbau ke sana, untuk kemudian menjemputnya di sore hari.

Dusun Portibi dan ngarai Jampalan dipisahkan oleh hamparan perbukitan padang ilalang yang luas. Saat musim hujan, padang ilalang itu menyediakan hijauan segar untuk kerbau. Aku dan teman-temanku cukup menggembalakan kerbau di perbukitan itu. Sementara ngarai Jampalan kami biarkan pulih menumbuhkan rumput lagi untuk pakan kerbau pada musim kemarau yang akan menyusul.

Seekor perkutut berkepak keras terbang dari kebun belakang dusun ke arah barat. Itu kepakan perkutut jantan, maklumat kejantanan untuk memikat betina. Tatapan mataku beralih mengikuti gerak terbang perkutut itu menyeberangi jalan raya lintas Sumatera, sebelum kemudian menyelinap masuk ke dalam rerimbunan pepohonan makadamia.

Pepohonan makadamia itu, tempat aneka burung bersarang, tegak membentuk sabuk hijau anti api sepanjang jalan raya setempat. Tajuk makadamia yang rimbun padat tak mengijinkan cahaya matahari menyentuh tanah, sehingga dasar sabuk itu bersih dari tetumbuhan. Maka, di balik sabuk itu, amanlah terlindung hamparan maha luas hutan pinus, tempat warga Portibi mencari ranting kering untuk dijadikan kayu bakar.

Burung perkutut terbang kembali. Kali ini melayang, tanpa kepakan, lurus ke arah utara, lalu menghilang di balik sebuah bukit kecil di utara bukit Partalinsiran.

Aku tinggikan horison pandanganku jauh ke arah utara, membayangkan sebuah peta mental, dan mengukur jarak Portibi dengan sebuah kota kecil di sana, yakni Parapat yang keindahannya telah santer ke manca negara.

Di Parapat ada desa Tigaraja, ajang pekan mingguan, tempat yang paling penting bagiku dan anak-anak Portibi lainnya kalau bicara soal Parapat. Setiap hari Sabtu, hari pasaran Tigaraja, kaum ibu Portibi selalu pergi ke sana. Mereka pergi ke sana membawa hasil bumi dan ternak untuk dijual, lalu pulang membawa bahan-bahan pokok untuk keperluan hidup keluarga seminggu.

Maka, bagiku dan teman-temanku sesama anak Portibi, Sabtu adalah hari yang paling menyenangkan. Pagi hari ibu atau nenek kami akan pergi ke Tigaraja, lalu siangnya pulang membawa oleh-oleh jajanan pasar yang selalu enak di lidah. Ada klepon, gandasturi, onde-onde, ongol-ongol, bugis, kue lapis, goreng pisang, pisang ambon, telur bebek rebus, pecal, dan kerupuk warna-warni. Inilah yang kesenangan Sabtu yang selalu aku dan teman-temaku nantikan.

Derum kasar mesin otobus spontan mengalihkan pandanganku ke arah barat, tepat ke mulut jalan dusun. Sebuah oplet tua berhenti di sana, baru tiba dari Tigaraja, menurunkan sejumlah penumpang, salah seorang dari mereka adalah nenekku. Kesenangan Sabtu telah tiba. Maka tanpa aba-aba, tanpa rem, aku berlari terbang turun menyongsong kesenanganku.

Sebuah Sabtu siang yang kelabu mendung, Januari 1997 di Portibi, aku berdiri lagi di puncak bukit Partalisiran, menyapukan pandanganku tigaratus enampuluh derajat, tapi tak kutemukan lagi pemandangan Januari 1967. Tigapuluh tahun, rupanya, adalah waktu yang diperlukan untuk menghilangkan sebuah surga kecil, surga milik kami, aku dan teman-temanku.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun