Pertengahan Juli 2013. Sebuah sore yang cerah di pantai Karangbolong, Kebumen. Ombak Laut Selatan berkejaran tiada henti ke pantai. Lidahnya setiap kali menjilati pasir pantai sampai rata mulus.
Biru air laut yang sejuk menghapus sisa terik yang masih lekat di ubun-ubun. Terbawa tadi dari tengah persawahan di Gombong. Di bawah matahari Kebumen, aku bersama isteri dan kedua gadis cilik kami memang baru saja blusukan ke tengah sawah di sana. Berpanas-panas menyaksikan barisan malai-malai padi menguning yang merunduk takzim.
Isteriku dan aku mengumpankan lidah kaki-kaki kami ke lidah ombak. Jilatan lidah ombak itu di lidah kaki kami memberi rasa geli terkili. Tapi juga rasa sejuk yang menyegarkan tubuh dari ujung kuku kaki hingga ke ujung rambut di kepala.
Kedua anak perempuan kami berlarian kesana-kemari di sepanjang bibir pantai. Berulang kali mereka menunduk memunguti aneka kulit kerang yang berserakan di atas pasir.
Puas bermain lidah ombak, isteriku dan aku duduk di lincak milik satu-satunya warung yang buka di pantai itu. Mengamati anak-anak kami, sembari mengunyah peyek udang yang dijajakan di situ.
Menoleh ke arah barat, pandangan mataku tertumbuk pada perbukitan menjulang. Bukan perbukitan biasa sebenarnya. Tepatnya, itu semacam semenanjung setengah lingkaran yang memisahkan pantai Karangbolong dan pantai Ayah di sebelah barat.
Kontur pantai semenajung itu sungguh curam. Tak ada bibir pantai berpasir. Yang ada hanya dinding karang terjal. Dinding kokoh yang setiap saat melemparkan kembali setiap gulungan ombak yang menghajarnya.
Mataku menangkap kelebatan sekelompok walet yang terbang di atas laut lalu hilang ke balik bukit. Aku pikir, mereka pasti bersarang di dalam gua-gua yang terdapat di sepanjang dinding karang curam itu.
Pikiran itu, tanpa terkontrol, tiba-tiba saja membersitkan ingatan tentang seorang anak desa bernama Si Burung. Dia sebenarnya tak pernah ada. Si Burung hanyalah tokoh anak kecil rekaan Simon Franke dalam novel “Si Burung - Tjeritera pemetik sarang burung lajang-lajang”.
Seingatku, novel itu adalah hasil terjemahan Nur St. Iskandar dari novel aslinya berbahasa Belanda, “Si Boeroeng bij de Javaanse vogelnestjesplukkers”. Novel yang mengisahkan kehidupan para pemetik sarang walet di pantai selatan Kebumen.
Aku membaca novel itu untuk pertama kalinya, dan hanya sekali itu saja, tahun 1975. Waktu itu aku baru duduk di kelas 3 SMP di sebuah seminari di kota Pematang Siantar.