Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jokowi Perlu Berguru pada “Mesias” Moshadeq?

26 Januari 2016   13:15 Diperbarui: 10 Februari 2016   11:04 2706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[ME4JKW #002]

Jangan ketawa sinis atau marah dulu. Ini serius. Bukan semacam sinisme atau sesat pikir.

Tanya dulu, mengapa muncul pertanyaan yang menjadi judul artikel ini?

Saya jawab. Karena “Mesias” Ahmad Moshadeq dengan Gafatar-nya sukses membentuk sebuah komunitas madani di Mempawah, Kalimantan Barat.

Apa hebatnya? Hebatnya, prestasi semacam itu sampai sekarang belum juga bisa dicapai Presiden Jokowi melalui Kemendes-nya.

Maksud saya, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dikomandani Menteri Marwan Jafar. Ini kementerian yang bertanggungjawab pada pembangunan komunitas pedesaan.

Hebatnya lagi, komunitas madani Gafatar di Mempawah itu adalah buah “revolusi mental”. Sementara Presiden Jokowi belum punya contoh “kisah sukses” untuk “proyek revolusi mental” yang digagasnya sendiri.

 

Kuasa dan Partisipasi

Agar tak dianggap mengada-ada, atau sesat pikir tiada akhir, izinkan saya sebentar menjelaskan teorinya.

Saya merujuk konsepsi Amithai Etzioni tentang tiga pola kuasa dan respon partisipasi (khalayak) yang bersesuaian (congruent).
Pertama, pola kursif (coercive, memaksa), dengan respon patisipasi yang bersifat alienatif (menolak). Misalnya, pemerintah melalui undang-undang dapat memenjarakan koruptor, tapi tak ada koruptor yang suka-rela tinggal di penjara. Kalau bisa, kabur.

Kedua, pola remuneratif (imbalan), dengan respon partisipasi yang bersifat kalkulatif (untung-rugi). Misalnya, pemerintah menyuruh petani menanam padi varietas unggul baru, lalu petani menurutinya karena benihnya gratis, ada harapan produktivitas tinggi, dan mendapat pupuk bersubsidi pula. Siapa yang menolak untung?

Ketiga, pola normatif (penanaman nilai), dengan respon partisipasi yang bersifat moral. Misalnya, semua warga sebuah dusun kerja-sama mendirikan rumah seorang warga, atas dorongan kewajiban moral untuk saling-bantu antar sesama warga. Antar sesama, harus solider.

 

Jalan Revolusi Mental

Lalu apa kaitan tiga pola kuasa-partisipasi versi Etzioni itu dengan revolusi mental?

Begini. Kalau revolusi mental dipahami sebagai proses perubahan radikal pola pikir (nilai sosial) dalam diri individu/komunitas, maka ada tiga jalan menuju sana. Tiga jalan itu, merujuk Etzioni, adalah jalan kursif, jalan remunerative, dan jalan normatif.

Untuk memahaminya dalam kenyataan, sekaligus membanding Kemendes dengan Gafatar, atau Presiden Jokowi dengan “Mesias” Moshadeq, izinkan mengajukan program transmigrasi sebagai contoh.

Jalan pertama: kursif alias main paksa. Bagi sebagian transmigran umum, program yang mereka ikuti dinilai sebagai pemaksaan, untuk pindah dari Jawa keluar Jawa. Karena itu setelah setahun “susah” di daerah transmigrasi, mereka menjual jatah rumah dan lahan lalu pindah ke kota atau kembali ke Jawa. Berarti, revolusi mental gagal, pola pikir transmigran tak berubah.

Jalan kedua: remuneratif alias iming-iming. Bagi sebagian lagi transmigran umum, program itu diterima sebagai langkah yang memiliki resiko untung-rugi. Mereka bertahan di daerah transmigrasi. Sebagian berkembang maju, tapi sebagian lagi pada akhirnya bernasib “sama seperti di Jawa”. Pada golongan terakhir ini, revolusi mental tak terjadi.

Jalan ketiga: normatif alias dorongan etos baru. Transmigran swakarsa dahulu pada umumnya berhasil karena didasari etos baru untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Karena itu mereka berangkat transmigrasi atas inisiatif dan biaya sendiri. Pada mereka ini, revolusi mental telah terjadi sebelum berangkan ke tanah seberang.

Sudah lama gerakan transmigrasi swakarsa tak terdengar. Sampai kemudian “ditemukan” (lalu diberantas?) satu komunitas “transmigran swakarsa” yang diorganisir Gafatar di Mempawah.

 

Nilai Solidaritas

Terlepas dari ragam cap miring dan negatif yang disematkan padanya, secara obyektif, komunitas transmigran swakarsa Gafatar itu adalah contoh “kisah sukses” revolusi mental.

Entah dengan cara bagaimana “Mesias” Moshadeq serta anak-buahnya bisa meyakinkan para “transmigran” itu, sehingga pola pikirnya berubah radikal. Mereka lalu meninggalkan kehidupan lamanya untuk sebuah kehidupan baru di “tanah terjanji”.

Padahal, untuk sebagian dari mereka, kehidupan lama sudah mapan dan individualis pula. Lalu mengapa mereka mau meninggalkan semua itu untuk sebuah kehidupan komunitas yang sepintas mirip “komune China” atau mungkin “kibbutz Israel”?

Agaknya, “Mesias” Moshadeq dan anak-buahnya telah berhasil menanamkan kembali nilai-nilai solidaritas kepada para “transmigran”-nya. Sekaligus meyakinkan mereka bahwa solidaritas adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang adil dan makmur.

Agaknya juga, “Mesias” Moshadeg dan anak-buahnya berhasil membuktikan bahwa masyarakat Indonesia kini tak punya nilai solidaritas lagi. Lihatlah korupsi meraja-lela dan konflik berbau primordial kerap dan gampang meletup di berbagai penjuru nusantara.

Mungkin itu alasannya mengapa “Mesias” Moshadeq membangun komunitas “baru” di Mempawah. Barangkali itu adalah wujud purifikasi, pemurnian masyarakat yang telah tercemari nilai-nilai anti-solidaritas.

Memang harus diakui pula, nilai solidaritas sudah memudar dalam masyarakat Indonesia. Itu mungkin akibat dari penerapan spartan Trilogi Pembangunan sepanjang masa Orde Baru: pertumbuhan, stabilitas, pemerataan. Dalam prakteknya, pertumbuhan dan stabilitaslah yang utama. Jika ada tuntutan pemerataan, maka akan dibungkam atas nama stabilitas.

 

Perlu Dikaji

Apa yang sudah sebutkan tadi, semuanya memang masih bersifat dugaan. Maka, pertanyaan “(Apakah) Presiden Jokowi perlu berguru pada ‘Mesias’ Ahmad Mushadeq?” di sini harus dilihat sebagai pertanyaan penelitian.

Maksudnya jelas, dari perspektif sosiologi pembangunan masyarakat desa, ada baiknya mengkaji secara mendalam gejala “komunitas Gafatar Mempawah” itu. Mungkin saja, berdasar kajian itu, bisa dirumuskan sebuah model pembangunan komunitas madani yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Itulah makna “berguru” pada “Mesias” Ahmad Moshadeq. Trentu, bukan Presiden Jokowi sendiri yang berguru. Tapi Marwan Jafar berserta stafnya di Kemendes. (Bukan Khofifah beserta stafnya di Kemensos).

Tapi, jika pikiran dalam artikel ini dinilai sesat pikir, ya sudahlah, lupakan saja. Mungkin kita memang tipe manusia yang “berkepala penuh berpikiran tertutup”. Bukan manusia “berkepala kosong berpikiran terbuka”. (*)

 

 

*)ME4JKW = MEMO FOR JOKOWI

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun