Jika dibawa ke konteks “Jokowi” sebagai sebuah “gejala sosial”, maka “lovers” dan “haters” sebenarnya adalah konsep-konsep yang membingkai kepentingan-kepentingan subyektif.
“Lovers” membingkai kepentingan yang terpenuhi karena Jokowi tampil sebagai presiden terpilih.
Sebaliknya “haters” membingkai kepentingan yang tak terpenuhi karena Jokowi muncul sebagai pemenang Pilpres 2014.
Maka, jika “lovers” dan “haters” beradu argumen tentang kinerja Jokowi misalnya, sudah pasti akan terjadi pertentangan yang bersifat diametral.
“Lovers” karena kepentingan subyektifnya sebagai “pihak yang menang” (kubu “pusat”), pasti akan selalu menilai positif kinerja Jokowi.
Sebaliknya, “haters”, karena kepentingan subyektifnya sebagai “pihak yang kalah” (kubu “marginal”), pasti akan selalu menilai negatif kinerja Jokowi.
Tentu “lovers” maupun “haters” akan menyajikan data yang diklaim “obyektif” untuk mendukung argumen masing-masing. Tapi “data obyektif” itu telah dipilih sedemikian rupa sehingga konsisten dengan kepentingan subyektifnya.
Dalam adu argumen, data yang diajukan kedua pihak akan selalu saling-bertentangan. Karena “lovers” selamanya akan bersikap verifikatif, memaparkan data positif tentang kinerja Jokowi. Sebaliknya “haters” selamanya akan bersikap falsifikatif, menunjukkan data negatif tentang kinerja Jokowi.
Maka, atas dasar menjadi sah bila seorang “hater” mengatakan “Poltak berargumen positif tentang Jokowi karena dia memang seorang “lover” Jokowi. Hal sebaliknya juga sah.
Mengapa sah? Karena “lovers-haters” di sini harus dipahami sebagai kategori dikotomis yang membingkai satu set argumen, bukan membingkai karakter individu (pribadi).
Tegasnya, “lovers-haters” bukan dikotomi “kepribadian subyek” melainkan dikotomi “kepentingan subyektif”.