Dengan begitu, menjawab pertanyaan pertama, perspektif struktural-fungsional mengukuhkan tesis bahwa “keluarga (kita) adalah miniatur bangsa (kita)”. Miniatur khususnya pada aspek karakter, atau moralitas/mentalitas ekonomi, politik, dan budaya.
Jelas, tesis tersebut sangat relevan dengan konteks Indonesia kini. Sebabnya, Presiden Jokowi telah mencanangkan “sasaran besar” pembangunan bangsa yaitu perwujudan bangsa Trisakti. Itulah sasaran “Indonesia Hebat” yaitu bangsa yang memiliki kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian budaya.
Maka, dalam kerangka struktural-fungsionalis itu, logis jika BKKBN menjadi motor revolusi mental bangsa melalui dan di lingkungan keluarga Indonesia. Harapannya, dengan membangun mentalitas kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian budaya di lingkungan kehidupan keluarga, kelak akan terbentuk “Bangsa Indonesia Hebat”.
Empat Nilai Dasar
Dalam kaitan revolusi mental, norma “keluarga kecil, bahagia, sejahtera, berkualitas, bermartabat, dan harmonis” yang dicanangkan BKKBN sebagai “keluarga berkarakter”, bermasalah secara metodik. “Norma” itu tidak eksplisit menegaskan nilai moralitas/mentalitas keluarga/bangsa yang hendak dibentuk melalui “revolusi mental” .
Karena itu, untuk menjawab pertanyaan kedua, sebaiknya kita merujuk pada manifesto “Revolusi Mental” yang telah diumumkan Presiden Jokowi (Kompas, 10 April 2014).
Dengan manifesto itu, Jokowi telah mencanangkan revolusi mental sebagai paradigma pembangunan nasional. Paradigma ini dimaksudkan untuk menjawab masalah paling dasar bangsa Indonesia awal abad ke-21 yaitu lemahnya mentalitas dan moralitas di segala bidang.
Ada lima premis dasar manifesto “Revolusi Mental” Jokowi itu. Pertama, tujuan pembangunan adalah tercapainya bangsa Indonesia yang Trisakti yaitu berdaulat secara politik, ekonomi, dan budaya.
Kedua, proses pembangunan selama ini baru menyentuh dimensi struktural kelembagaan, belum menyentuh dimensi kultural, sehingga capaian pertumbuhan ekonomi dan demokrasi politik tidak diimbangi oleh penguatan mentalitas bangsa.
Ketiga, mentalitas bangsa yang lemah menyebabkan liberalisme semakin meraja dan menyuburkan gejala inefisiensi pemerintahan, perekonomian, dan perpolitikan dalam bentuk korupsi, kolusi, nepotisme, dan intolerasi yang melemahkan kedaulatan bangsa.